Pelemahan harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) terhenti dan kembali menghijau atas optimisme bahwa negara pembeli CPO utama dunia, India akan memangkas pajak impornya.

Hal itu bersamaan dengan ekspektasi penurunan produksi dari Indonesia, produsen terbesar di dunia.

Trader di Sprint Exim Pte Rajesh Modi mengatakan harga CPO naik setelah mun cni laporan bahwa India akan memangkas pajak impor minvak kelapa sawit mulai 1 Januari sebagai bentuk penghormatan pada kesepakatan dengan Malaysia dan asosiasi negara-negara di Asia Tenggara I (ASEAN).

Langkah tersebut bisa memacu jumlah impor, terutama dengan harga CPO yang makin bersaing dengan minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari. Kabar tersebut juga membantu harga CPO menghentikan penurunannya selama sepekan, ditambah dengan kabar bahwa Indonesia akan menurunkan produksi pasokannya.

“Namun, jumlah cadangan yang masih terbilang tinggi bisa menahan penguatan harga CPO,” kata Chandran Sinnasamy, anggota pialang berjangka dan derivatif di CIMB Kuala Lumpur, dikutip dari Bloomberg. Jumat (28/12).

Pajak impor CPO India dari Malaysia akan mendapat pelonggaran dari 44% menjadi 40%. Kemudian, pajak untuk minyak kelapa sawit sulingan akan diturunkan menjadi 45% dari sebelumnya mencapai 54%, setelah mencapai kesepakatan dengan Asean.

Sementara itu, untuk impor dari Indonesia, pajak impor CPO India juga turun dari 44% menjadi 40%. Sedangkan untuk produk sulingan akan mendapatkan penurunan pajak dari 54% menjadi 50%.

Solvent Extractors” Association di India menyebutkan bahwa sebenarnya para pelaku industri minyak nabati India menolak keras aksi penurunan pajak impor karena akan membawa kerugian bagi petani lokal. Asosiasi itu menyebut harus ada perbedaan 10% antara pajak minyak nabati mentah dengan minyak sulingan.

Saat ini Pemerintah India juga sedang mengevaluasi permintaan Indonesia untuk membuat pajak impor India ke Indonesia agar sama dengan Malaysia. Sebagai imbalannya. Indonesia menjanjikan pembelian gula dan beras dari India.

Kenaikan harga CPO kali ini juga sejalan dengan penguatan harga minyak kedelai di CBOT. Namun, kenaikan harga tersebut dinilai akan terbatas karena penguatan ringgit dan pelemahan harga minyak nabati di bursa China Dalian Commodity Exchange.

Umumnya, harga CPO sering berkaitan dengan pergerakan harga minyak kedelai lantaran kedua minyak nabati tersebut bersaing ketat di pasar minyak nabati dunia. “Harga CPO mengikuti penguatan harga minyak kedelai, tapi penguatan ringgit dinilai bisa menahan kenaikannya.”

Dia menambahkan bahwa pelemahan harga minyak kedelai dan CPO di Dalian juga akan membawa tekanan bagi pasar CPO.

Penguatan ringgit, mata uang yang digunakan dalam perdagangan CPO. menjadi semakin m.ihal hagi pembeli dari luar negeri. Ringgit menguat 0,3% menjadi 4.15 ringgit per dolar AS, kenaikan tertajam dalam 3 pekan terakhir.

Terkait dengan perang dagang yang selama ini juga mempengaruhi harga dan perdagangan CPO, delegasi dari AS akan berkunjung ke Beijing pada 7 Januari untuk kembali melakukan diskusi perdagangan dengan China.

Pada perdagangan Jumat (28/12) harga CPO di Bursa Malaysia Derivatif (MDE) mengalami kenaikan hingga 15 poin atau 0,71% menjadi 2.120 ringgit per ton. Secara year to date (ytd) harga patokan CPO di Malaysia sudah mengalami penurunan harga hingga 17.47%.

Adapun, harga minyak kedelai di bursa Chicago Board of Trade (CBOT) yang menjadi saingan CPO, mengalami kenaikan 0,14 poin atau 0,51% menjadi US$27,77 sen per pon dan membukukan penurunan harga hingga 17.02% sepanjang tahun ini.

Selain itu, volume perdagangan CPO di MDE mencatatkan berdiri di posisi 12.302 lot dengan masing-masing lot berisi 25 ton pada perdagangan Jumat (28/12).

Harga minyak kedelai premium terhadap CPO hingga mencapai sekitar US$102 per ton, naik dari rata-rata tahun lalu yang premiumnya hanya mencapai US$93 per ton.

Sementara itu, terdapat faktor yang bisa memberikan tekanan pada harga CPO, yakni Parlemen Norwegia yang melakukan pemungutan suara untuk menolak penggunaan hanan bakar berbahan minyak kelana sawit.

“Hal itu akan mempengaruhi hubungan perdagangan antara Malaysia dan Asosiasi Perdagangan Servis Eropa, ungkap Perdana Menteri Industri Malaysia Teresa Kok.

Dia menambahkan bahwa penolakan tersebut akan menjadi masalah besar bagi diskusi perdagangan antara kedua negara.

PROYEKSI 2019

Produksi CPO di Malaysia, sebagai produsen terbesar nomor dua di dunia diperkirakan akan kembali naik hingga mencapai 20 juta ton pada 2019 karena perbaikan cuaca dan banyaknya pohon yang sudah kembali ditanam akan mulai siap panen.

“Kemungkinan liaiga CPO bisa menguat pada semester 1/2019 karena adanya antisipasi penguatan konsumsi dari negara-negara konsumen, penguatan permintaan ekspor, dan implementasi kebijakan BIO,” papar Kok.

Cadangan CPO Malaysia pada November tercatat naik 10,5% dari bulan sebelumnya mencapai 3,01 juta ton. Dari sisi produksi, tercatat adanya penurunan hingga 6,1% dibandingkan dengan bulan lalu menjadi hanya 1,85 juta ton. Sementara itu, jumlah ekspor CPO Malaysia juga turun 12,9% menjadi hanya 1,38 juta ton.

 

Sumber: Bisnis Indonesia