SAWIT INDONESIA – Sahat Sinaga merasa gusar dengan tren kenaikan harga CPO di pasar global. Di pasar tender KPBN Inacom, harga CPO melampaui Rp 15.000/kg. Per 21 Januari 2022, harga CPO Bursa Malaysia sebesar RM5.322/ton.

“Ini sudah di luar batas kewajaran. Malahan bisa menjadi “racun” bagi industri sawit,” ujar Sahat selaku Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) dalam perbincangan melalui telepon.

Sahat merujuk data tren harga CPO dari tender yang dilakukan KPBN inacom. Harga CPO -ex Dumai di level Rp 15.120/kg ( excl.PPn) per 20 Januari 2022.

KPBN Inacom (PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN) Inacom adalah badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang jasa perdagangan (trade) dan pelelangan (tender) komoditas perkebunan ke pasar internasional. Perusahaan ini anak usaha yang mayoritas sahamnya dimiliki PT Perkebunan Nusantara (Persero) Holding atau PTPN Holding.

Jika harga CPO merangkak naik, dikatakan Sahat, dapat menjadi racun bagi keberlanjutan industri sawit. Racun yang dimaksud adalah dampak merugikan kepada perusahaan dan petani.

Racun yang pertama adalah aspek produktivitas. Dikatakan Sahat, tingginya harga menyebabkan. pelaku usaha perkebunan cepat berpuas diri. Tidak mau berbenah mendongkrak produktivitasnya.

“Dengan harga tinggi, produktivitas tanaman hanya mencapai 9 ton Tbs/ha/thn. Perusahaan maupun petani sudah merasa puas karena harga TBS di level Rp 3.800/kg. Akibatnya mereka enggan meningkatkan produktivitas lebih tinggi,” kata Sahat.

Racun kedua adalah kehadiran kompetitor baru. Sahat berpijak kepada histori komoditas minyak nabati yang menunjukkan apabila margin produk itu tinggi. Artinya inviting competitor sedang membuat produk sejenis.

Ia mencontohkan saat di tahun 1950-an di mana harga karet mencapai US$ 3,7/kg akibat perang Korea. Para ahli kimia mengembangkan teknologi “Synthetic Rubber”. Maka, hadirlah inovasi yang menciptakan produk sama baiknya dengan kualitas mirip karet alam.

“Akibatnya, perkebunan karet sampai sekarang terpuruk. Apalagi jika harga minyak fosil itu di bawah US$ 60/barrel. Ini membuat Synthetic Rubber bisa dijual dengan harga rendah,” tuturnya.

Begitupula dengan kondisi harga sawit tinggi seperti sekarang. Menurut Sahat mulai muncul inovasi yang dikembangkan peneliti untuk membuat “Synthetic Palm Oil”.

“Kalau ada Synthetic Palm Oil maka harganya dapat berkisar US$400-US$500 per ton. Jika produk ini dapat menyamai minyak sawit alami akan berdampak kepada harga TBS petani,” ujarnya.

Sahat memperkirakan minyak sawit sintetis berpeluang menekan harga TBS petani sampai Rp650-Rp720 per kilogram.

“Dengan harga serendah ini , apa yang akan dilakukan para petani sawit. Hasilnya tak akan berbeda dan menjadikan seperti kebun karet Indonesia masa kini, tanpa pemeliharaan tanaman, ” ujarnya.

Sebagai informasi, sejumlah perusahaan bioteknologi telah mengembangkan minyak mikroba yang dapat menawarkan alternatif untuk minyak sawit.

Di Amerika Serikat, Xylome, perusahaan start up, menggunakan rekayasa metabolisme untuk mengembangkan ragi non-konvensional. Teknologi rekayasa ini membuat lipid baru, pengganti minyak sawit, biokimia dan enzim. Xylome mendapatkan paten atas teknologi baru yang radikal untuk membuat pengganti minyak sawit.

 

Sumber: Sawitindonesia.com