JAKARTA-Pemerintah tengah berupaya mengubah posisi Indonesia dari Raja CPO (minyak sawit mentah/aude palm oil) menjadi Raja Hilir Sawit pada 2045 mendatang. Terdapat sejumlah kebijakan yang ditempuh pemerintah guna mewujudkan target tersebut, di antaranya pengenaan bea keluar (duty) dan pungutan ekspor (levy), serta mandatori biodiesel untuk substitusi solar impor.

Deputi II Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud menuturkan, sejak beberapa tahun terakhir, sebenarnya ekspor produk hilir sawit Indonesia sudah jauh lebih besar dari produk hulu. Pada 2006, ekspor hulu masih 60-70% namun sekarang terbalik untuk produk hilir 60-70% dan produk hulu hanya 30-40%. “Kita punya target mengembangkan hilirisasi lebih jauh lagi, lebih luas lagi, agar nilai tambah sawit optimal dan daya saingnya tinggi. Kita ingin ubah posisi Indonesia dari saat ini Raja CPO menjadi Raja Hilir pada 2045 nanti,” ungkap Musdhalifah di Jakarta, belum lama ini.

Musdhalifah menjelaskan, terdapat empat kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mengubah Indonesia menjadi Raja Hilir Sawit dunia. Selain pengenaan bea keluar dan pungutan ekspor serta mandatori biodiesel untuk substitusi solar impor, kebijakan lainnya adalah berupa pemberian insentif pajak berupa tax allowance, tax holiday, pembebasan bea impor atas mesin serta barang dan bahan modal. Selain itu, pengembangan kawasan industri terintegrasi yakni integrasi industri hilir dengan fasilitas/jasa pelabuhan,

Diajuga menuturkan, pemerintah telah menyiapkan tiga jalur hilirisasi industri CPO. Pertama, hilirisasi oleopangan (oleofood complex) dengan produk minyak goreng sawit, margarin, vitamin A, vitamin E, shortening, ice cream, creamer, dan cocoa butter atau specialty fat. Kedua, hilirisasi oleokimia (oleochemical complex) dengan produk biosurfaktan (contoh: produk detergen, sabun, dan sampo), biolubrikan (biopelu-mas), dan biomaterial (contoh bi-oplastik). Ketiga, hilirisasi biofuel (biofuel complex) dengan produk berupa biodiesel, biogas, biopre-mium, bioavtur, dan lain-lain.

Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah juga akan menerapkan Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil System/ISPO) untuk industri hilir sawit nasional. Hal tersebut untuk memenuhi tuntutan pasar global akan aspek keberlanjutan

(sustainability) pada produk akhir berbahan baku sawit. Ketentuan ISPO itu nantinya tertuang dalam peraturan menteri perindustrian. Di sisi lain, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong pengembangan industri pengolahan Kelapa Sawit nasional. Kapasitas produksi industri pengolahan Kelapa Sawit dan turunannya mencapai 93,50 juta ton pada triwulan III-2020 atau meningkat dari periode yang sama 2019 sebesar 87,05 juta ton. Jenis ragam produk hilir yang dihasilkan industri dalam negeri juga bertambah, dari semula 126 produk pada 2014 menjadi 170 produk pada 2020, yang didominasi produk pangan dan bahan kimia dari sumber terbarukan. Saat ini, posisi Indonesia dari sisi jumlah produk hilir yang dihasilkan bersaing dengan Malaysia.

Penguatan Riset

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, saat ini Raja Hilir Sawit dunia khusus untuk produk oleokimia posisi Indonesia dan Malaysia hampir sama dari sisi jumlah produk yang dihasillkan. Meski merupakan produsen sawit terbesar di dunia tapi Indonesia belum menjadi Rajar Hilir Sawit karena teknologi dan pengembangan yang belum optimal. Untuk itu, kegiataan riset di Indonesia ke depan harus diperkuat, terutama untuk sawit. “Mengapa Indonesia belum menjadi Raja Hilir Sawit dunia? Itu karena riset dan pengembangan (research and development/RD) belum optimal,” kata Sahat kepada Investor Daily, kemarin.

Namun demikian, GIMNI optimistis dengan adanya pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) maka akan mampu meng-encourage atau mendukung berbagai penelitian sawit. Harapannya, dalam dua tahun mendatang sudah banyak produk hilir sawit yang bisa dihasilkan Indonesia. “Saat ini, kegiatan RD sudah mulai digalakkan dengan adanya dana dari BPDPKS, sehingga RD sawit ke depan berkembang terutama untuk produk hilir. Misalnya, ke depan, penelitian atau RD biomassa perlu dilakukan lebih dalam karena saat ini kita masih tahap pengembangan,” papar Sahat.

Produk hilir sawit terbagi menjadi empat, yakni food dan specialty fat, oleokimia, bahan bakar nabati (BBN), dan biomassa. Jika untuk oleokimia, jumlah produk hilir yang dihasilkan Indonesia dan Malaysia tidak jauh berbeda (Indonesia 49 produk) maka dari sisi food dan specialty fat (refinery) jumlah produk Indonesia lebih banyak (90 produk). Sedangkan dari sisi biomassa (tandan dan cangkang sawit), Indonesia dan Malaysia masih sama-sama dalam tahap pengembangan. Untuk BBN, Indonesia adalah leading -nya, BBN itu di antaranya FAME dan biolubrikan (pelumas sawit).

 

 

Sumber: Investor Daily Indonesia