JAKARTA-lndonesia harus terus konsisten menjalankan tata kelola sawit berkelanjutan, meski ke depan gaung kampanye atau kebijakan antisawit di pasar internasional mereda. Dengan tata kelola sawit berkelanjutan, sawit Indonesia bukan hanya menguntungkan secara ekonomi karena produktivitas yang lebih baik dan daya saing meningkat tapi ekosistem lingkungan juga tetap akan terjaga.
Pit Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) yang juga Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, Indonesia harus mengantisipasi apapun yang menyerang sawit, termasuk apabila ada negara yang antisawit atau mendiskriminasikan sawit. Kalaupun kemudian serangan itu mereda, Indonesia tetap harus mempertahankan tata kelola sawit berkelanjutan yang sudah berjalan. “Apapun itu sekarang melunak atau tidak, Indonesia tetap harus membuat minyak sawit tetap berkelanjutan sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,” kata dia kepada Investor Daily, Senin (18/1).
Seperti ditulis Robert Hii dalam laman www.thecspo.org, Uni Eropa (UE) mengisyaratkan lebih lunak terhadap komoditas sawit. Hal ini tergambarkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) UE-Asean pada 1 Desember 2020. Terkait produksi minyak nabati berkelanjutan, UE menyambut baik diluncurkannya joint working group antara UE dengan negara-negara anggota Asean dalam membahas tantangan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelan-
jutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di sektor minyak nabati, terutama terkait pendekatan holistik terhadap lingkungan.
Sahat Sinaga menjelaskan, diskriminasi terhadap minyak sawit Indonesia sejatinya sudah lama terjadi, bahkan bukan UE yang pertama kali melainkan Amerika Serikat (AS) yang pada 1978 menganggap sawit Indonesia tidak baik untuk kesehatan karena banyak lemak sehingga menyebabkan obesitas dan penyakit jantung. Nyatanya, setelah dilakukan penelitian hal tersebut tidaklah benar dan AS berhenti melakukan kampanye negatif terhadap sawit pada awal 2006 dan terjadi kesepakatan antara produsen minyak sawit dengan AS bahwa tidak akan ada lagi kampanye negatif terhadap minyak sawit.
Pada 2005, UE mulai menggunakan green energy untuk menyerang sawit. “Ini bukan lagi aspek kesehatan tetapi yang diserang aspek lingkungan,” ujar dia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia hendaknya tetap konsisten memantau dan mengarahkan agar minyak sawit nasional harus dikelola berkelanjutan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengatasi permasalahan kebun petani yang berada di areal hutan, kebun -kebun tersebut dianggap tidak berkelanjutan. Padahal penyelesaian masalah itu bisa membantu Indonesia meningkatkan bauran energi dengan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sawit.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusahakelapa sawitIndonesia (Gapki) Mukti Sardjono mengatakan, kebijakan antisawit maupun kampanye negatif terhadap sawit, baik yang menyerang dari sisi kesehatan maupun lingkungan, bisa dilawan dengan bukti ilmiah dan diplomasi. “Dan Indonesia harus tetap konsisten menjalankan pengelolaan sawit berkelanjutan. Ada atau tidak ada kampanye negatif, konsep pengelolaan sawit berkelanjutan di Indonesia harus dipertahankan,” kata Mukti.
Menurut Mukti Sardjono, sikap UE yang mungkin mulai melunak terhadap komoditas sawit bisa memberikan angin segar, namun demikian Indonesia harus tetap melobi agar UE tidak lagi menyerang sawit. Sikap tersebut juga belum bisa menggambarkan kebijakan UE ke depan. “Yang jelas, kalau ada kampanye yang menyerang sawit Indonesia harus mengantisipasi dan terus memantaunya,” jelas dia. Selain UE, pasar sawit yang menjanjikan bagi sawit Indonesia adalah India, untuk itu pasar tersebut harus juga dijaga.
Sedangkan menurut Sahat, India dan Pakistan masih pasar yang potensial dan meskipun UE terus menyerang sawit namun mereka pasti tetap mencari karena sawit mempunyai banyak keistimewaan. Sawit merupakan komoditas anugerah dari Tuhan yang diberikan ke Indonesia. Kelebihan sawit di antaranya menjadi bahan baku minyak goreng dan cokelat. “Sawit tetap dibutuhkan, sawit Indonesia masih dan akan tetap dibutuhkan dunia. Meski mereka menyerang, tapi mereka juga butuh,” ujar Sahat.
Ekspor Naik
Sebelumnya, Indonesia justru dinilai berhasil meningkatkan ekspor minyakkelapa sawitke UE pada 2020 di tengah sengketa perdagangan yang disebut Indonesia sebagai diskriminasi sawit. Secara nilai, ekspor sawit Indonesia ke UE naik 27%, sedangkan secara volume naik 10%. “Perdagangan kita turun cukup signifikan yakni 11% dalam 10 bulan pertama 2020 dan itu dapat dipahami (terkait situasi krisis Covid-19),” kata Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Piket seperti dilansir Antara, belum lama ini.
Perdagangan Indonesia-UE diwarnai perselisihan soal minyakkelapa sawitpada 2019, setelah blok itu membuat kebijakanrenewable energyDirective II (RED II) dan Delegated Regulation yang disebut akan dapat membatasi akses masuk produk-produk bahan bakar hayati yang dinilai tidak bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan {unsustainable crop based biofuels), termasuk minyak sawit. “Indonesia bertahan surplus, kebanyakan berkat keberhasilan negara ini dalam ekspor minyakkelapa sawitke UE, yang faktanya naik sebesar tak kurang dari 27% secara nilai dan 10% secara volume,” ujar Piket.
Sumber : Investor Daily Indonesia