Tekanan Uni Eropa terhadap ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya akan berdampak lebih besar bagi Indonesia dibandingkan dengan Malaysia.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, dengan kondisi yang terjadi di industrisawitTanah Air saat ini, tekanan dari Uni Eropa akan berdampak besar kepada Indonesia.

“Tahun ini tambahan produksi CPO kita akan mencapai 4 juta ton, jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya yang biasanya hanya 2 juta ton. Alhasil, tanpa ada pasar ekspor yang besar atau konsumsi domestik yang tinggi, tentu kondisi ini akan menjadi beban bagi kita,” ujarnya, kepada Bisnis, Senin (29/7).

Dia mengatakan, kondisi kelebihan produksi pada tahun ini disebabkan oleh penambahan jumlah tanaman dan lahan sawit yang dilakukan dalam 10-15 tahun lalu.

Indonesia, menurutnya, terbilang ekspansif dibanding Malaysia dalam menambah luasan dan jumlah tanaman sawit.

Pasalnya, Malaysia selama ini sangat terbatas dalam menambah luasan dan jumlah tanaman sawitnya, lantaran ketersdiaan lahannya mulai tergerus oleh kebutuhan perumahan. Alhasil, kondisi kelebihan stok di Malaysia tidak setinggi Indonesia.

“Berkaca pada kondisi itu, dengan skema renewable energyDirective II yang diterapkan UE kepada Malaysia dan Indonesia, tentu dampaknya akan lebih besar kepada kita,” paparnya.

Untuk itu, dia mendesak agar pemerintah lebih agresif dalam melakukan perjanjian dagang dengan negara mitra yang melibatkan CPO sebagai komoditas yang dikerjasamakan. Pasalnya, menurutnya, Indonesia masih tertinggal dari Malaysia dalam memanfaatkan CPO sebagai produk pertukaran komoditas yang dilonggarkan bea masuknya di negara mitra dalam sejumlah kerja sama dagang.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master P. Tumanggor mengatakan, hambatan UE terhadap biodiesel RI melalui rencana pengenaan bea masuk antisubsidi (BMAS) berpeluang membuat Malaysia mampu mengisi kebutuhan produk tersebut di UE. Pasalnya, hingga saat ini baru Indonesia yang produk biodiesel dari CPO yang dihambat impornya oleh UE.

“Bisa saja kinerja ekspor biodiesel kita kalah dari Malaysia. Negara tersebut juga bisa masuk mengisi celah yang kita tinggalkan di UE.”

Tumanggor mengakui harga biodiesel Malaysia jauh lebih mahal dibandingkan dengan mdonesia sehingga sulit untuk dikenai tuduhan subsidi.

Namun, dia meyakini, apabila Malaysia berhasil memasok biodiesel ke UE, produk tersebut juga akan dikenai hambatan dagang oleh blok negara terbesar Eropa tersebut.

 

Sumber: Bisnis Indonesia