Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengusulkan agar pemerintah menghapus sementara pajak pertambahan nilai (PPN) atas minyak goreng (migor) dalam kemasan. Dengan begitu, peralihan penggunaan migor curah ke migor kemasan bisa terlaksana secara penuh. Permendag No 9 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag No 80 Tahun 2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan menetapkan bahwa minyak goreng wajib dikemas mulai 1 Januari\’2020.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menjelaskan, proses peralihan migor curah ke dalam kemasan akan menguntungkan masyarakat karena lebih higienis dan sehat. Namun demikian, untuk menarik minat konsumen beralih ke migor dalam kemasan maka diperlukan adanya insentif dengan me-nolkan sementara PPN dalam rentang waktu tertentu, misalnya satu tahun.
“Ingat, menolkan PPN bukan memberikan subsidi kepada perusahaan karena PPN itu milik pemerintah. Dengan penghapusan sementara PPN maka yang akan diuntungkan justru konsumen karena pengaruhnya ke harga,” kata Sahat usai dialog tentang sawit Menjawab Kebutuhan Gizi dan Persoalan Kesehatan di Jakarta, Rabu (6/3).
Pada 2018, peredaran migor curah untuk pasar tradisional dan ritel masih lebih tinggi dari migor dalam kemasan (hingga 25 liter) yakni hanya 1,71 juta ton untuk migor dalam kemasan dan migor curah mencapai 3,25 juta ton. Sementara itu, saat ini tercatat ada 74 perusahaan migor sawit di Indonesia yang dilengkapi dengan fasilitas radiasi dan fraksinasi, yakni 34 unit di Sumatera, 28 unit di Jawa, 8 unit di Kalimantan, dan 4 unit di Sulawesi.
Sahat menjelaskan, selain higienis, migor dalam kemasan memiliki iodine value minimum 56 sehingga mutunya lebih prima. Apalagi, pada kemasan akan tercantum nama produsen migor tersebut, sehingga lebih terjamin, migor dalam kemasan juga akan memudahkan pemerintah memantau pergerakan harga dan volume di pasar.
“Karena itu, selain menolkan sementara PPN, kami juga telah meminta Kementerian Kesehatan memberikan dukungannya dengan mendorong masyarakat beralih ke migor dalam kemasan,” kata Sahat.
Menurut Sahat, mendorong masyarakat beralih menggunakan migor dalam kemasan pada akhirnya juga akan menekan penggunaan migor jelantah atau migor bekas yang telah digunakan secara berulang-ulang.
Menggunakan migor yang telah dipakai berulang -ulang pada temperatur tinggi, di atas 120 derajat Celcius, dikhawatirkan dapat menimbulkan berbagai hal yang tidak diinginkan dan berdampak buruk bagi kesehatan.
Sumber: Suara Pembaruan