Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia dinilai perlu memiliki sebuah platform multi-stakeholder dan membentuk koalisi kelapa sawit berkelanjutan. Platform tersebut mempertimbangkan luas pengembangan sawit keberlanjutan dengan menciptakan nilai-nilai bersama melalui berbagi praktik dan pelajaran terbaik.

Koalisi dibutuhkan karena industri kelapa sawit Indonesia kerap diserang isu-isu negatif, termasuk di antaranya tata kelola lingkungan yang kurang baik dan isu deforestasi.

Country Director The Nature Conservancy (TNC) Indonesia Rizal Algamar mengatakan, koalisi berkelanjutan kelapa sawit berbasis luas dapat
menjadi tempat dialog konstruktif yang penting bagi masa depan minyak kelapa sawit Indonesia berkelanjutan.

“Membuat sektor minyak kelapa sawit berkelanjutan sementara mengabaikan keberlanjutan sektor-sektor ekonomi lainnya akan menjadi sia-sia. Diperlukan, pendekatan holistik untuk memastikan keberlanjutan lintas sektor dan lintas wilayah geografis yang lebih luas,” kata dia dalam keterangan tertulisnya kemarin.

Rizal mengatakan, saat ini ada pendekatan praktis dengan pengembangan disertai desain yang disebut dengan istilah development by design (DBD). Skema ini memperhitungkan mata pencaharian berkelanjutan dan konservasi.

“Pendekatan DBD sedang diuji cobakan di daerah-daerah seperti di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, dan secara luas di Provinsi Kalimantan Timur, melalui Green Growth Compact,” sebutnya.

Dia menjelaskan, kunci dari cakupan luas yurisdiksi (lanskap) DBD adalah penyeimbangan pilihan terkait dengan niata pencaharian ekonomi dan kepentingan konservasi. Adapun perimbangan dilakukan melalui tiga langkah pendekatan mitigasi hierarki dan sekuensial dengan menghindari dampak, meminimalkan dampak, serta . mengimbangi dampak apabila ada dampak negatif yang tidak dapat dihindari.

“Program DBD saat ini diuji cobakan di Berau dan Kalimantan Timur, dapat ditingkatkan ke tingkat nasional. Setelah diterapkan pada skala nasional, lintasan berkelanjutan baru yang memperhitungkan ekonomi dan ekologi dapat dimulai,” ujar Rizal yang juga Ketua Pengurus Yayasan Konservasi Alam Nusantara ini.

Dia menambahkan, Pemerintah Indonesia telah menjadikan kebijakan sektor minyak kelapasawitsebagai persoalan kepentingan nasional. Sebagai contoh, pada awal 2018, Kedutaan Besar Indonesia di Brussels mengeluarkan pernyataan yang memprotes kebijakan Parlemen Uni Eropa yang dipandang tidak adil dan proteksionis terhadap minyak kelapa sawit.

Sumber: Harian Seputar Indonesia