Pelaku industri dan pengurus GAPKI periode 2018-2023 akan menghadapi tiga tantangan meliputi produktivitas sawit, daya saing, dan kompetisi minyak nabati. Hal ini disampaikan Joko Supriyono Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam pidato sambutan di Pengukuhan Pengurus, Dewan Pembina, dan Dewan Pengawas GAPKI periode 2018 – 2023, di Jakarta.

Data dari Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI) menyebutkan produktivitas kelapa sawit Indonesia menempati urutan ke-4 di bawah Malaysia, Kolumbia dan Thailand. Indonesia hanya lebih baik dari Nigeria. Sementara, dari sisi daya saing masih kalah dibanding Malaysia. Sementara, data beberapa perusahaan public di Indonesia dan Malaysia menunjukkan production cost US$/ton CPO perusahaan Indonesia yang terbaik masih kalah dengan perusahaan Malaysia.

Faktor daya saing yang hadapi di Indonesia adalah tingginya cost yang dipengaruhi berbagai hal seperti, masalah infrastruktur, perizinan, biaya sosial dan keamanan yang sering dikeluhkan dan sulit pemecahannya.

Pasar terbesar sawit Indonesia yakni India, namun sejak 2017 memberlakukan tarif yang cukup berat. Tidak berbeda, pasar Eropa sebagai pasar tradisional juga cukup besar dari waktu ke waktu memunculkan berbagai hambatan dalam perdagangan baik yang bersifat tarif maupun non tarif.

“Kita memang sangat berbahagia dan berbangga karena memiliki surplus produksi yang besar yakni 70% namun tanpa penguasaan dan penerimaan pasar yang baik akan mengalami kesulitan,” kata Joko Supriyono.

Menurut Joko Supriyono, pasar minyak nabati global menjadi persaingan yang sangat ketat ketika tren penguasaan pasar (market share) minyak sawit semakin meningkat dan sawit mendominasi pasar. Tahun 2016/2017 Marker share sawit sebesar 30% vs sementara tahun 1996/1997 sebesar 17,5%. Bagaimana posisi Indonesia di tengah meningkatnya market share sawit?

Tren kinerja ekspor sawit Indonesia ke berbagai Negara dari sisi penguasaan pasar, India tetap masih merupakan pasar terbesar, disusul Eropa dan Tiongkok. Pada tahun 2017, India menguasai market share (24,5%), Eropa (16%), Pakistan (7%), Timur Tengah (6,8%), Afrika (7,3%) dan Other (18%). Dalam 5 tahun terakhir terjadi tren penurunan market share di pasar utama Indonesia.

Menurut studi James Fry untuk GAPKI, memproyeksikan hingga 2025 pertumbuhan permintaan minyak nabati akan bertambah sekira 5 juta ton per tahun. Sehingga menjadi peluang bagi industri sawit Indonesia, sekaligus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia dengan memanfaatkan peluang pertumbuhan global tersebut.

Joko Supriyono mengatakan untuk mewujudkannya kemampuan daya saing Indonesia untuk memenangkan persaingan menjadi kunci dalam perdagangan minyak nabati global. Inilah esensi dari tantangan ketiga; mengamankan, menjaga dan mengembangkan pasar.

Tidak hanya itu, lanjut Joko, isu sustainability juga akan selalu menjadi “kambing hitam” untuk menekan dan menyalahkan produksi minyak sawit, yang pada dasarnya ingin memperkuat posisi tawar minyak nabati lain terhadap sawit.

Selanjutnya, pada periode kepengurusan GAPKI 2018-2023 akan fokus pada tiga hal untuk menjawab tantangannya yaitu pertama, perbaikan atau peningkatan daya saing industri sawit indonesia melalui upaya peningkatan produksi atau produktifitas serta pentingnya menciptakan iklim berusaha yang kondusif yang kondusif dengan meminimalkan regulasi yang bersifat menghambat atau kontraproduktif baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Kedua, menjamin kepastian pasar, pengembangan pasar, keberterimaan pasar dan keberlanjutan dalam eksport, termasuk di dalamnya adalah meminimalkan hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif. salah satu halk penting di sini adalah menangani isu sustainability berupa kampanye negatif.

Ketiga, penguatan organisasi, pemberdayaan GAPKI Cabang, pelayanan anggota serta komunikasi.

 

Sumber: Sawitindonesia.com