BELITUNG – Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa industri sawit nasional memiliki peluang paling besar untuk menambal defisit neraca perdagangan yang pada Januari-Juli 2018 mencapai USS 3,09 miliar.
Alasannya, industri sawit nasional mampu menyumbang devisa yang tidak sedikit dan besaran devisa tersebut bisa terus digenjot apabila ekspor terus didorong oleh pemerintah. Pada 2017, industri sawit menyumbang US$ 22,97 miliar dari total devisa ekspor nasional.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan, industri sawit mempunyai peranan penting bagi Indonesia, apalagi dalam situasi seperti saat ini yang mana perekonomian Indonesia dalam kesulitan dan terus digoyang faktor eksternal. Kondisi ekonomi Indonesia memang rapuh dan sensitif dengan perubahan yang terjadi di pasar global. Karena itu, menjadi penting untuk meletakkan industri sawit dalam konteks perekonomian Indonesia. “Defisit neraca perdagangan kita pada Juli 2018 sekitar US$ 3 miliar, defisit bulanan tertinggi, ini yang menyebabkan nilai tukar rupiah semakin rapuh. Kita perlu memperkuat sektor yang bisa menutup defisit itu, pemerintah selalu bilang ekspor dan ekspor, di sini pentingnya sawit ikut menghadapi situasi genting tersebut,” kata Joko, Kamis (23/8).
Joko mengatakan hal itu saat membuka lokakarya bertajuk Membangun Pemahaman Komprehensif tentang Industri Kelapa sawit yang Berkelanjutan di Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Menurut dia, yang perlu menjadi perhatian negara saat ini adalah penciptaan lapangan kerja dan devisa yang banyak dan industri sawit merupakan salah satu yang mampu memenuhinya. Tang dibutuhkan Indonesia adalah industri yang mampu menyerap tenaga kerja dan menciptakan devisa tinggi. Atau, memilih salah satunya, yang tentu saja masing-masing memiliki konsekuensi,” jelas Joko.
Joko Supriyono menjelaskan, apabila industri menghasilkan devisa tinggi namun penyerapan tenaga kerjanya tidak terlalu tinggi maka harus didorong upaya hilirisasi. Sedangkan apabila penyerapan tenaga kerja industri itu tinggi namun devisa yang dihasilkan rendah yang harus dilakukan adalah mendorong ekspor, misalnya industri pertanian. “Kalau serapan tenaga kerja tinggi, juga menghasilkan devisa tinggi, seharusnya didorong makin kencang, didorong supaya semakin lancar dan terus berkembang. Kalau kita menempatkan sawit itu di situ, itu tidak berlebihan, karena itu yang menjadi concern negara ini yaitu sektor yang memang bisa memberikan dua benefit tadi. Apalagi, defisit neraca perdagangan dan permasalahan kemiskinan masih tinggi,” kata Joko.
Hanya saja, kata Joko Supriyono, saat kemampuan industri sawit nasional untuk menambal defisit neraca perdagangan tak perlu diragukan lagi, industri tersebut saat ini justru menghadapi banyak masalah. Hal ini karena industri sawit tidak bisa lepas dari konteks perdagangan global.
Industri sawit nasional salah satunya menghadapi tantangan laten berupa kampanye negatif. “Bagaimana kita menghadapi kampanye negatif itu, seharusnya hal itu tidak boleh terjadi di Indonesia. Kampanye negatif itu juga tidak berdiri sendiri, tapi banyak faktor yang terlibat di dalamnya, pemerintah negara lain, media global, industri pesaing, dan stakeholder]ain. Ini yang memang harus dihadapi bersama-sama,” papar Joko.
Selalu Dimusuhi
Wakil Ketua Umum III Gapki bidang Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang menambahkan, industri sawit memang dan akan selalu menjadi sektor yang dimusuhi. Ini karena potensinya, apabila saat ini Indonesia memiliki 40 juta ton setahun bukan tidak mungkin di masa depan mencapai 80 juta ton setahun. “Kebayang tidak apabila sawit jadi sumber Energi Terbarukan di masa depan? Kita tidak perlu lagi impor crude oil. Pertamina bisa mengekspor solar dan biodisel blending 60-70%. Kebayang tidak sawit menjadi kekuatan Indonesia? Indonesia menjadi negara super power karena memiliki sumberEnergi Terbarukan dari sawit, itulah mengapa sawit tetap akan dimusuhi,” kata Togar.
Sawit, lanjut dia, akan mempunyai peran yang sangat besar di kemudian hari dalam hal energi. Ini karena minyak fosil memiliki keterbatasan, hal berbeda dengan renewable energy yang tidak tak terbatas. Apalagi, sawit bisa berproduksi hingga 25-30 tahun, berbeda dengan kedelai yang hanya tiga bulan dalam setahun. “Artinya, daya saing sawit jauh lebih tinggi, apalagi kalau produktivitas yang sekarang sekitar 4 ton per hektare (ha) dinaikkan, kita bakal bisa memproduksi 50 juta ton minyak sawit mentah (CPO) yang sekarang hanya sekitar 40 juta ton. Itulah mengapa sawit dimusuhi,” kata Togar.
Damiana Simanjuntak
Sumber: Investor Daily Indonesia