JAKARTA – Imbas wabah Covid-19 telah menjalar ke berbagai sektor industri, termasuk kelapa sawit. Untuk dapat bertahan dalam kondisi seperti ini, industri sawit harus melakukan efisiensi secara maksimal.

“Selain terus menjalankan protokol melawan Covid-19 di semua Uni aktivitas, untuk dapat bertahan tentu saja melakukan efisiensi besar-besaran, pengaturan kembali rencana cashflow termasuk merelokasi peruntukan dengan merevisi prioritas budget, menyiapkan beberapa alternatif skenario krisis (semacamstress test) dan solusinya. Meninjau idang mana yang tetap harus berjalan dan mana yg bisa ditunda,” ujar Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Ranya Lakshmi Sidarta di Jakarta kemarin.

Kanya mengatakan, meski industri sawit mengalami imbas yang cukup besar akibat wabah Covid-19, dirinya memastikan belum ada penutupan pabrik sampai saat ini. Namun, di lapangan terjadi kesulitan cash flow dan jika tangki stok sudah dirasa tidak menampung, maka pembelian buah sawit dari luar kemungkinan dikurangi. “Kelihatannya 1-2 bulan ke depan bisa saja sudah ada yang mulai mengurangi pembelian buah dari luar dan hanya mengolah buah internal atau bahkan mengurangi jam operasi pabrik,” tegasnya.

Menurut Kanya, meski dalam masa sulit, industri sawit belum ada rencana untuk melakukan PHK karyawan. Bahkan Gapki sedang memperjuangkan agar para pekerja/ karyawan baik yang di kebun maupun yang di pabrik mendapatkan tunjangan tambahan untuk kelompok yang dipandang lemah dan rentan terhadap krisis. “PHK adalah pilihan terakhir, saya tidak mendengar dari teman-teman sesama industri yang berencana melakukan PHK,” tegasnya.

Dia berharap dengan kondisi ini pemerintah memberikan insentif bagi industri sawit. Menurut Kanya, insentif yang dikeluarkan pemerintah untuk meringankan beban karyawan masih kurang merata.

Dia mencontohkan antara lain tunjangan PPh21 perusahaan yang biasanya disetorkan kepada negara, disarankan untuk dibayarkan kepada karyawan pabrik saja. Sementara perusahaan sawit bentuk manajemennya beragam, ada yang satu atap, ada yang terpisah antara kebun dan pabrik. “Jadi jika hal ini diberlakukan, maka akan terdapat pembedaan perlakuan terhadap sesama karyawan dalam satu grup perusahaan. Justru hal ini dapat memicu permasalahan baru di lapangan,” katanya.

Selain itu.dia menuturkan, insentif yang diharapkan lagi adalah bantuan strategi dan solusi mengatasi berkurang drastisnya ekspor sawit. Hal ini karena pasar global sedang merata terkena pandemi korona yang berakibat terhadap penurunan permintaan. “Oleh karenanya, perlu diberikan kemudahan-kemudahan pelaksanaan penyerapan lebih besar di dalam negeri selain untuk biodiesel, tapi juga untuk energi terbarukan yang lain,” papar Ranya.

Sementara untuk ekspor lanjut dia, selain semakin terbatasnya armada, peningkatan biaya transportasi dan ekspedisi kapal yang melonjak signifikan agar diturunkan atau mendapat kompensasi atas perbedaan antara sebelum dan pada masa wabah ini, terutama untuk pengangkutan bahari kebutuhan pokok.

 

Sumber: Harian Seputar Indonesia