JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Industri sawit tak jarang mendapat tudingan negatif, salah satunya dianggap sebagai salah satu pemicu deforestasi. Untuk itu, peran generasi milenial perlu dilibatkan agar dapat meng-counter tudingan tersebut. Melalui, webinar bertema “Konservasi Alam dan Industri Sawit” yang diikuti sebagian besar generasi muda dijelaskan secara gamblang, bagaimana pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan praktik pelestarian alam (konservasi).

Aktivis Muda Lingkungan (Sawit, Kehutanan dan Gambut), Fransisca Simanjuntak, di Indonesia, perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh perusahaan berada di kawasan APL (Area Penggunaan Lain) yang memiliki fungsi budidaya. “Bahkan, perkebunan yang dikelola perusahaan memiliki kawasan konservasi dan menjadi landscape sendiri di dalam perkebunan kelapa sawit,” ujarnya, pada Jum’at (24 Agustus 2021).

Terkait dengan High Conservation Value (HCV) dan High Stock Carbon (HSC) di perusahaan sawit. Fransisca mengatakan tentu ada sisi positif dan negatifnya. “Sisi positifnya jelas, di dalam perkebunan sawit ada kawasan Konservasi dan menjadi landscape sendiri di dalam perkebunan.

Tetapi juga ada sisi negatifnya, kalau ada kawasan konservasi, itu pasti ada penghuni lain seperti monyet dan babi hutan yang menjadi hama bagi tanaman kelapa sawit yang ada di perkebunan sawit,” tambahnya.

Selanjutnya, Fransisca menambahkan jika kawasan HCV tidak jelas batas dan tidak dijaga oleh perusahaan, maka di musim kemarau berpotensi menjadi lahan kering dan riskan terbakar. Hal ini yang bisa saja terjadi dimanfaatkan oleh oknum dalam membuka lahan dengan cara yang instan dengan cara membakar. “Ini yang berpotensi menimbulkan kebakaran lahan dan hutan. Kemudian apinya masuk ke perkebunan sawit jadilah perusahaan yang dituduh membakar lahan/kebun sawit,” ucapnya.

“Jadi, poin-poin itu yang harus diperhatikan bersama. Bahwa di lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit ada kawasan konservasi dan tanaman kelapa sawit juga bukan ditanam di kawasan berfungsi lindung,” imbuh Fransisca yang karib disapa Sisca.

Lantas, bagaimana praktik konservasi yang dilakukan petani sawit swadaya? Seperti diketahui, usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh perusahaan swasta, perusahaan negara dan petani.

Maria Goldameir M, Petani Sawit Milenial mengatakan bicara kawasan konservasi di kebun sawit yang dikelola petani sawit swadaya tentu berbeda jika dibanding perusahaan perkebunan sawit.

“Kita (petani sawit swadaya) tidak bisa melakukan konservasi dalam skala besar seperti perusahaan. Dengan kemampuan keuangan yang terbatas, maka kita hanya bisa mempraktikan pengelolaan kebun dengan baik. Dan, dituntut untuk terus menjaga dan mengelola lahan dengan baik. Misalnya, penggunaan pupuk organik dengan memanfaatkan limbah sawit diolah menjadi pupuk,” kata Golda, sapaan akrab Goldameir.

Selain itu, tambah Golda, kita bisa ternak kambing atau ayam, kotorannya bisa digunakan menjadi pupuk, upaya ini untuk mengurangi pupuk kimia. Usaha-usaha ini juga yang dilakukan sebagai upaya konservasi.

 

Ke depan tantangan industri sawit juga semakin berat karena harus memiliki sertifikasi ISPO dengan memperbaiki tata kelola kebun sawit yang dikelola oleh petani generasi pertama. “Maka dalam kesempatan ini kami ingin memberitahu dan memberi dukungan pada petani sawit mandiri/swadaya dengan kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki. Kami sepakat tata kelola yang perlu diperbaiki yaitu tata kelola kebun sawit yang sustainable,” pungkas Golda

 

Sumber: Sawitindonesia.com