ADA sejumlah manfaat krusial dari inti plasma perkebunan. Salah satunya, kebun plasma dapat mengamankan investasi karena masyarakat sekitar merasa turut memiliki investasi yang dilakukan perusahaan.

Hal itu dikatakan Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) Edi Martono kepada Media Indonesia, kemarin.

“Pengalaman saya membangun inti plasma dapat menyejahterakan masyarakat, bahkan beberapa daerah yang ada investasi perkebunan kelapa sawit berkembang,” ujarnya.

Inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara usaha kecil dan usaha menengah atau besar, dengan usaha menengah atau besar bertindak sebagai inti, sedangkan usaha kecil selaku plasma.

Edi pun mencontohkan sewaktu dirinya membuka inti plasma di daerah Mamuju, Sulawesi Barat, pada era

90-an yang belum berkembang signifikan kala itu. Namun, lama-kelamaan, dengan adanya pembangunan perkebunan kelapa sawit, termasuk program inti plasma, Kabupaten Mamuju kini banyak dilirik investor. Bahkan, itu juga yang menjadikan Mamuju sebagai ibu kota Sulawesi Barat.

Edi menerangkan, inti plasma perkebunan sudah dimulai sejak tertuang dalam aturan kemitraan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pelaksanaannya pun diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007.

“Baru di UU 39/2014 tentang Perkebunan diatur minimal 20% dari areal plasma yang diusahakan,” jelasnya.

Permen ATR No 7/2017, kata Edi, juga mewajibkan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari hak guna usaha (HGU). Lalu ditambah Permen LHK No P51/2016 yang juga mewajibkan membangun kebun masyarakat minimal 20% dari areal yang dilepaskan.

Ketua Umum Asosiasi Petanikelapa sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Setiyono juga sependapat bahwa dengan adanya inti plasma perkebunan, banyak petani merasakan manfaatnya.

“Sangat banyak petani terjamin dalam teknis membangun kebun dan harga terjamin karena dilindungi Permentan soal penetapan harga,” tuturnya.

Pihaknya pun berharap kebijakan atau Permentan lebih diawasi ketat agar perjanjian yang sudah dibuat bisa ditaati bersama.

“Karena selama kemitraan inti plasma semua saling konsisten. Dengan demikian, permasalahan sawit semakin teratasi dengan baik,” kata Setiyono.

Sementara itu, Dirjen Perkebunan Kementan Kasdi Subagyono menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 58 tentang Kemitraan Usaha Perkebunan ayat 1 bahwa perusahaan yang memiliki izin usaha perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat (plasma) seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakannya.

“Satu kebun inti mengintegrasikan beberapa hektare dari kebun rakyat. Pembinaan itu dilakukan agar hasil produksi kebun rakyat bisa diserap oleh inti (pabrik perusahaan),” kata Kasdi saat dihubungi, kemarin.

Tujuannya, menurut dia, pertama yaitu amanat undang-undang. Kemudian kedua, perusahaan perkebunan akan lebih sulit untuk memperluas areal kebun untuk memenuhi target produksi pabriknya. Namun, dengan bermitra bersama petani dan membina lahan kebun mereka sebagai plasma, wilayah perusahaan akan menjadi luas dalam kaitannya kapasitas produksi yang harus dihasilkan industri itu.

Diskusi menarik tentang inti plasma sektor perkebunan ini bakal dibahas secara tuntas dalam webinar Indonesia Bicara yang dipandu Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia Usman Kan-song, hari ini.

Acara ini dapat diikuti secara live streaming di Youtube Media Indonesia mulai pukul 14.00 WIB hingga selesai atau kanal media sosial lnstagram dan Facebook Media Indonesia.

Selain Kasdi Subagyono, Edi Martono, dan Setiyono, narasumber yang turut membahas persoalan inti plasma ini ialah Maria R Nindita Radyati (Direktur CECT Trisakti dan MM Suistanability), Gulat Manurung (Ketua Umum DPP Asosiasi Petani kelapa sawit Indonesia), dan Tungkot Sipayung (Direktur Eksekutif palm oil Agri business Strategic Policy Institute).

 

Sumber: Investor Daily Indonesia