Kalangan industri sawit meminta Spent Bleaching Earth (SBE atau sisa pemurnian dari industri minyak goreng) tidak dikategorikan limbah B3. Sementara itu, Kementerian LHK berbeda pendapat terkait usulan ini. Di negara lain, SBE dapat diolah menjadi produk bernilai tinggi.

Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menetapkan SBE menjadi limbah B3, jelas menambah beban pelaku usaha,” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).

SBE digolongkan sebagai limbah B3 dari sumber spesifik khusus dalam PP Nomor 101/2014 mengenai Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun. SBE memiliki kode B 413. Sahat Sinaga menjelaskan penetapan SBE sebagai B3 merugikan pelaku usaha minyak goreng dan produk hilir lainnya. Sebab, SBE ini memiliki potensi dan nilai tambah untuk dijadikan recovered oil.

Di negara lain seperti Malaysia dan India, SBE digolongkan sebagai limbah non B3. Di Malaysia, SBE disebut solid waste regulation. Akibatnya, kata Sahat, Malaysia dapat mengklaim produknya sangat sustainable dan lebih berdaya saing di pasar global.

Dalam laporan GIMNI, negara-negara pengolah minyak nabati menjadi refined oils– seperti Malaysia, Eropa, India dan lainnya juga penghasil SBE, tapi SBE tidak masuk kategori Limbah B3.  Malaysia memasukkan SBE kedalam Solid Waste Regulation dan harus diolah begitu pula  harus  diuji TCLP apa bila mau dipakai untuk land-filling.

Sejatinya, PP 101/2014 dalam pasal  7 ayat 7 sudah memberikan ruang untuk penggantian status limbah B3 menjadi non B3 melalui prosedur tertentu uji TCLP dan toksikologi. Yang menjadi masalah, pengujian ini diserahkan kepada masing-masing individu dan perusahaan. Seharusnya, Kementerian LHK yang melakukan pengujian terlebih dahulu. “Jika diserahkan kepada masing perusahaan, akan menjadi beban baru,” ujarnya.

Menurut Sahat, SBE masuk kategori 2 karena memiliki  efek tunda yang berdampak tidak langsung pada manusia dan lingkungan hidup serta memiliki toksisits, sub-kronis atau kronis. Uji Karakteristik LB3 sesuai peraturan yang tertulis di Lampiran II – PP101/ 2014, telah dilaksanakan berbagai perusahaan dan tidak menunjukkan adanya petunjuk ke arah toksisitas, sub kronis atau kronis. Tetapi, tidak ada solusi  dari Kementerian LHK.

SBE dapat diolah menjadi produk bernilai tambah melalui teknologi solvent extraction. Teknologi Solvent Extraction dapat mengolah B3 –SBE menjadi produk seperti pasir De-OBE dan minyak R-Oil. Produk yang dihasilkan dari ekstraksi antara lain subtitusi pasir untuk pembuatan bahan bangunan, bahan pupuk mikronutrisi, pelapis dasar jalan raya, bahan baku keramik, re-use bahan baku bleaching earth, dan bahan baku semen.

Sahat menjelaskan dalam 5 tahun terakhir ini hanya ada 3 unit pengolahan SBE melalui Solvent Extractor yang berdiri dari target  jumlah 20 unit. Solvent Extractor  berada di areal Sentul, Jawa Barat,yang beroperasi pada 2016 tetapi kondisinya mati suri. Pabrik ke-2 berlokasi di Tanjung Morawa, Sumatera Utara beroperasi tahun 2017 , dan pabrik ke-3 berada di Gresik, Jawa Timur sedang dibangun.

Dijelaskan Sahat, ada satu perusahaan Solvent Extractor yang sudah beroperasi dari tahun 2015 – 2017 tetapi menghentikan operasinya pada 2018 karena berbagai alasan antara lain banyak pemilik izin Pengelola Limbah B-3 ( padahal tidak memiliki fasilitas ) menawarkan biaya olah SBE di sekitar Rp 450 – 500/kg sedangkan biaya pengolahan dengan solvent extraksi berkisar Rp 1.000 -1.150 /kg. Persoalan lainnya adalah biaya angkut ke calon pengguna SBE seperti batako dan pengerasan pondasi sekitar 20% di atas biaya normal.

“Tidak ada komitmendari industri pengolah secara konsisten untuk menanggulangi SBE  ini,” ujar Sahat.

Dijelaskan Sahat setelah  kejadian yang menghebohkan limbah SBE di Marunda, Jakarta pada Januari 2019 sebenarnya banyak perusahaan berizin pengelolaan limbah B3 tidak lagi menampung SBE. Akibat kemacetan out-flow dari SBE ini, limbah SBE menumpuk dilokasi pabrik refineri bahkan mengalami kesulitan untuk berproduksi, karena ruang untuk penimbunan SBE sudah tidak dimiliki.

Walaupun PP 101/2014 sudah berjalan 6 tahun, dikatakan Sahat, sampai saat ini investor tak tertarik untuk berinvestasi olah SBE jadi minyak nabati ( R-Oil ) dan De-OBE ( De Oiled Bleaching Earth) karena hasil olahan berupa produk samping DeOBE tetap di cap sebagai Limbah B-3.  Sahat menghitung dengan  perkiran volume SBE antara 600 ribu ton sampai 750 ribu ton, akan  dibutuhkan 17 unit pengolahan SBE menjadi recovered oil (R-oil) dan De-Oiled Bleaching Earth (OBE). Saat ini, baru ada tiga unit pengolahan dengan kapasitas produksi 300 ton per hari, sedangkan yang beroperasi hanya 2 unit pengolahan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3), KLHK, Rosa Vivien Ratnawati dalam pidatonya menyatakan bahwa, Spent Bleaching Earth (SBE) merupakan limbah padat B3 hasil proses penyulingan minyak sawit pada industri minyak goreng atau oleochemical.

Dari hasil penelitian, setiap 60 juta ton produksi minyak sawit menghasilkan 600 ribu ton limbah SBE. Peningkatan jumlah industri minyak nabati berdampak peningkatan jumlah limbah SBE sehingga akan menjadi masalah jika tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik.

 

Sumber: Sawitindonesia.com