Label bahwa kelapa sawit sebagai pencetak devisa terbesar di sektor non migas, tidak sebanding dengan perlakuan yang diterimanya di dalam negeri. Alih-alih menjadikan komoditas kebanggaan, komoditas ini mendapatkan tekanan dan hambatan luar biasa hebat. Regulasi yang hadir cenderung memagari sawit supaya tidak meluas kemana-mana. Sebut saja, rancangan inpres moratorium perijinan baru sawit yang tujuannya mencegah perluasan lahan sawit dan membenahi tata kelola hutan. Kalaupun tujuannya perbaikan masalah hutan, mengapa kebun yang sudah jelas status dan legalitasnya akan dievaluasi kembali? Bukankah ini menimbulkan ketidakpastian dan kecemasan semua pihak mulai petani, pengusaha, dan perbankan.

Kalau inpres moratorium terbit, bagaimana nasib program replanting sawit rakyat yang diresmikan Presiden Joko Widodo? Pasalnya, banyak perkebunan sawit rakyat yang teridentifikasi masuk kawasan hutan. Padahal, Presiden Jokowi telah menginstruksikan pelepasan sawit rakyat yang berada di kawasan hutan. Tetapi yang terjadi, kementerian terkait malahan bersemangat untuk mempersulit pelepasan sawit rakyat dari kawasan hutan. Ataukah memang ada kesengajaan tidak mentaati arahan presiden?

Rubrik Sajian Utama mengulas persoalan tiga aspek yang memengaruhi industri sawit: daya saing, perluasan produk turunan, dan hambatan di negara tujuan. Ketiganya menjadi kunci supaya sawit Indonesia menang di pasar minyak nabati dunia. Yang terjadi sekarang, daya saing Indonesia masih tertinggal kendati menguasai market share di sejumlah negara. Daya saing tidak sebatas berbicara infrastruktur melainkan juga perangkat di dalamnya seperti regulasi dan kebijakan pemerintah. Tanpa daya saing kuat jangan harap sawit Indonesia bisa berjaya di pasar internasional.

Pembaca, edisi ini merupakan edisi khusus yang mengulas gagasan Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono untuk mengangkat daya saing industri sawit. Semoga gagasan ini dapat menjadi kesadaran dan menjadi langkah bersama kita semua.

 

Sumber: Sawitindonesia.com