Dubes Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend dinilai mengintervensi kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Protes ini disampaikan petani sawit melalui Asosiais Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dan Sawitku Masa Depanku (SAMADE).

“Saya sangat tidak setuju dengan pernyataan Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia Vincent Guerend yang menyarankan pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO),” kata Gulat Manurung, Ketua DPW APKASINDO Riau, kepada sawitindonesia.com, pekan lalu.

Sebelumnya, Dubes Uni Eropa menyebut sertifikat ISPO belum cukup diakui untuk persyaratan ekspor minyak sawit ke Eropa. Untuk itu, ia meminta Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali standar ISPO dan mungkin membuatnya lebih bertanggung jawab dan transparan, dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil.

“Standar ISPO yang hanya diimplementasikan oleh 15 persen produsen minyak kelapa sawit di Indonesia belum dianggap standar umum dunia,” terang dia seperti dilansir dari Antara.

Dikatakan Gulat, bahwa statement Dubes Eropa cenderung berbau kepentingan Politik Perdagangan. Seharusnya, pihak Eropa fair melihat dari semua lini jangan hanya melihat sedikit lalu mengeneralisasi secara keseluruhan.

“Sebagai Duta Besar UE untuk Indonesia tidak pantas menyampaikan pendapat seperti itu. Karena Indonesia sudah berupaya dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem industri perkelapasawitan di Indonesia secara menyeluruh. Saat ini pemerintah mengeluarkan regulasi di sektor perkelapasawitan dan evaluasi perbaikan regulasi penguatan ISPO yang semua itu bermuara kepada keberlanjutan,” ujarnya.

Tolen Ketaren, Ketua Umum SAMADE, menyampaikan pendapat serupa. Menurutnya, Dubes Eropa sebaiknya lebih sering turun ke perkebunan sawit untuk melihat tata kelola sawit berdasarkan ISPO.

“Harusnya jika UE peduli dengan iklim mereka merubah fungsi kebun kedelai, jagung, rapeseed yang notabene lebih dari 220 juta hektar di Eropa dan Amerika menjadi fungsi hutan kembali. Bukan kejar indonesia yang luas sawitnya hanya 14 juta hektar,” kata Tolen.

Gulat meminta jangan membanding-bandingkan jumlah perusahaan yang sudah mengikuti RSPO dengan ISPO. Karena wajar sudah lebih banyak Perusahaan mengikuti RSPO karena RSPO sudah berdiri tahun 2004 sedangkan ISPO baru akhir tahun 2011 diluncurkan.

Data Komisi ISPO menunjukkan Dari sekitar 14 juta hektar perkebunan sawit yang tersebar di seluruh Indonesia, sekitar 22,13% sudah bersertifikat ISPO atau seluas 3,099 juta hektare. Dengan produksi CPO sekitar 11,03 juta ton termasuk 7 Koperasi Perkebunan Sawit Rakyat (plasma dan swadaya).

Sumber: Sawitindonesia.com