Dilematis. Kondisi inilah yang boleh jadi sedang dialami oleh sebagian pelaku industri sawit sekarang ini. Pada satu sisi, mereka yang juga eksportir mesti kerja keras melobi dan gencar berkampanye positif untuk menghalau klaim sepihak dan menembus hambatan dagang dengan pasar Eropa.

Pada sisi lainnya, mereka seperti setengah hati karena kesulitan menggarap pasar-pasar nontradisional. Padahal, pemerintah mendorong industri untuk menembus pasar-pasar nontradisional. Penggarapan pasar-pasar baru atau yang belum ditembus maksimal akan memberi andil dalam memperkuat devisa. Lalu, mengapa pengusaha sawit masih ada perasaan bahwa mereka kurang didukung?

Besaran tarif pungutan ekspor yang berlaku saat ini rupanya belum dirasa cocok dalam hitungan skala keekonomian di sisi pelaku usaha sawit. Sekali lagi, keberatan mereka bukan pada kewajiban membayar pungutannya, melainkan pada tarifnya yang belum sesuai menurut mereka.

Sejatinya, mereka juga menyadari misi mulia di balik pungutan dana sawit atau CPO Fund yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP-KS).

Pasalnya, dana itu kembali diputar untuk mendanai riset kelapa sawit, pengembangan sumber daya-manusia, replanting, pemasaran, advokasi hingga insentif biodiesel.

Namun, dalam satu kesempatan baru-baru ini, Togar Sitanggang, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) mengemukakan industri hanya mengharapkan fleksibilitas dari pemerintah untuk dapat menyesuaikan tarif pungutan ekspor sawit itu secepatnya.

Mengapa secepatnya? Alasannya adalah dinamika pasar saat ini yang bergerak dan berubah dengan cepat.

Berdasarkan informasi dari Gapki, sejumlah asosiasi industri dan kementerian telah mengajukan usulan mengenai penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit untuk dibahas di Kementerian Koordinator Perekonomian.

Namun, sudah lebih dari sebulan lamanya, hingga kini belum ada kabar baru mengenai pembahasan atau keputusan atas usulan tersebut.

Ekspor produk sawit saat ini dipungut dana sawit dengan besaran US$50 untuk setiap ton CPO (crude palm oil) yang diekspor. Selanjutnya, dipungut US$30 untuk setiap ton produk curah atau RBDPO (refined, bleached and deodorised palm oil).

Selanjutnya, ada US$20 untuk setiap ton RBD olein seperti produk minyak goreng. Kemudian, untuk setiap ekspor minyak goreng kemasan dalam volume kecil (small pack) atau jeriken dikenakan pungutan ekspor US$10.

PASAR NONTRADISIONAL

Nah, tarif-tarif ini dalam sudut pandang pelaku industri belum menarik, terutama dalam menembus pasar yang tergolong nontradisional. Pasar Afrika menjadi salah satu contohnya. Ini juga termasuk pasar di negara-negara kawasan Pasifik seperti Vanuatu dan Fiji.

Menurut Togar, pasar Afrika yang meminta dilayani dalam ukuran small pack dengan bentuk kemasan jeriken membuat hitungan pungutan US$10 itu menjadi tidak masuk dalam skala keekonomian pengusaha.

Secara lebih rinci, dengan menggunakan ilustrasi ekspor small pack misalnya, papar Togar, pengusaha hanya menikmati keuntungan yang tidak seberapa.

Secara kalkulatif, mereka harus mengeluarkan US$2,5 untuk membeli dan membuat kemasan, kemudian keluar US$2,5 lagi untuk tambahan biaya logistik ke Afrika atau pasar sejenis lainnya.

Masih ada lagi US$2,5 lainnya untuk menjadi bagian keuntungan distributor di negara tujuan. Adapun sisanya, tinggal US$2,5 untuk pengusaha. Nilai yang kecil ini bagi pengusaha kurang menarik, untuk menembus pasar nontradisional.

Salah satu solusi yang mereka ajukan adalah melebarkan selisih pungutan yang dikenakan di tiap-tiap produk ekspor sawit tadi dengan menurunkan tarif. Dengan mengubah formula untuk menciptakan penyesuaian yang pas, menurut Togar, maka hal itu sudah cukup, bisa mendorong industri sawit.

Saat ini, sebagian anggota Gapki melayani pasar Afrika meski permintaan dari negara-negara di benua itu hanya dalam partai kecil, antara 1-2 kontainer.

Ini [permintaan dari Afrika] cuma 40 ton. Kami kirimnya harus yang 2 kontainer saja. Kalau masuk kapal, harganya jadi lebih tinggi. Kalau ini kami layani dan kami tidak diberikan tools untuk itu, akan susah karena yang nontradisional seperti Afrika tidak punya tangki. Masak karni yang bangun tangki?” sebut Togar.

Dia memberi contoh, karakteristik importir Afrika yang lebih suka membongkar kontainer yang berisi minyak goreng kemasan tadi dan langsung mengangkut jeriken menggunakan truk.

Soal pasar ekspor ini, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia Joko Supriyono punya cerita sendiri yang bisa menjadi bahan evaluasi bagi industri.

Menurut Joko, dirinya mencoba membandingkan antara kondisi masa lalu dan masa kini. Dahulu, ucapnya, pelaku industri hanya melihat pasar-pasar yang besar seperti India, China Eropa, baru kemudian melirik pasar besar lain di luar itu, yaitu Timur Tengah dan Afrika.

“Pas saya pisahkan Timur Tengah dan Afrika ternyata dua kelompok ini pertumbuhannya sama-sama tinggi sejak 2015 dan 2016. Masing-masing tumbuh rata-rata hampir 30%. Ketika itu kami melihat ini pasar yang bagus,” ungkapnya kepada Bisnis di sela-sela kunjungannya di Dubai, Uni Emirat Arab, baru-baru ini.

Meskipun lupa angka absolutnya, dengan sinyal positif itulah kemudian pelaku usaha sawit nasional mulai aktif melakukan misi dagang ke Timur Tengah di antaranya Iran dan Turki. Adapun di Afrika, misi dagang fokus merambah Afrika Selatan, Nigeria, Mesir, Tunisia serta Maroko. “Kalau dipilah-pilah, dalam 2 tahun terakhir telah terjadi perlambatan [pertumbuhan ekspor sawit] dan kami masih harus teliti lebih detail lagi karena pada 2018 [yoy] untuk eksporsawitsampai Juli, Timur Tengah cuma tumbuh 2%.”

ANALISIS DETAIL

Sementara itu, yang lebih mengejutkan lagi pasar Afrika justru turun hampir 20%. “Ini yang harus menjadi perhatian. Kita jangan hanya melihat angka besar. Analisisnya harus lebih detail,” saran Joko menyikapi permintaan pemerintah yang mendorong masuk ke pasar-pasar yang disebutnya dahulu menjanjikan pertumbuhan tinggi.

Lebih jauh, Joko juga membandingkan pasar lainnya yaitu Uni Emirat Arab. Negara ini, menurutnya, bukan pasar pengguna atau user melainkan trader. “Kalaupun mereka impor [produk sawit] itu untuk dijual kembali. Mereka mengambil margin, ketika margin tidak menarik mereka juga tidak banyak beli.”

Di pasar lain, Iran, misalnya, adalah pasar yang besar tetapi di negara republik Islam itu masih ada keraguan menyangkut pembayaran. Ini karena bank-bank di Indonesia belum menyambut dan mendukung pembayaran ekspor ke Iran karena harus menggunakan letter of credit (LC).

Meski demikian, sebenarnya Iran sudah membuka diri untuk itu. Pada sisi lain, Iran juga mengenakan tarif impor yang tinggi. Kemudian perundingan tarif Indonesia-Iran hingga kini juga belum kunjung selesai.

Hal-hal seperti itulah yang menurutnya membutuhkan perhatian bersama. “Kalau mau genjot pasar, terus judulnya pasar baru, yang seperti ini harus dibereskan.”

Turki, papar Joko, dulu merupakan pasar besar sawit Indonesia tetapi belakangan permintaan dari negara itu menurun. Turki, pada 2012 bahkan pernah meminta 600.000 ton tetapi sekarang menurun drastis tinggal di bawah 100.000 ton.

Itu salah satu penyebabnya Indonesia tidak kunjung menandatangani preferential trade agreement (PTA) Indonesia-Turki sejak 2012. PTA tidak bisa disepakati dan itu menyebabkan ekspor ke Turki turun.

Turki itu, ucapnya, di samping untuk memenuhi kebutuhan sawit pasar domestik karena populasinya yang besar, mereka juga bukan trader. Turki mengembangkan industri, di antaranya pengolahan untuk banyak produk turunan.

Mereka membuat cokelat, sabun, minyak sayur, dan sebagainya yang berbahan baku produk sawit. Turki juga mengembangkan industri hilir dan menyuplai ke pasar Suriah.

Lebih lanjut, Joko menjelaskan bahwa pasar Afrika, yang disebutnya punya banyak negara yang masing-masing berkebutuhan kecil-kecil, juga perlu dilayani.

Pasalnya, karena permintaan dalam partai kecil maka belum banyak perusahaan Indonesia yang mau melayani. Hitunganya jika hanya beberapa kontainer, keuntungannya dinilai habis untuk mengirim barang ke sana.

Lebih jauh, Joko juga mendorong agar skema bilateral PTA dengan Pakistan dapat segera ditingkatkan menjadi free trade agreement (FTA) karena dampaknya yang besar bagi pasar ekspor sawit nasional.

Walhasil, baik Togar maupun Joko mengharapkan pemerintah dapat memberikan insentif. Ini diperlukan agar pengusaha sawit nasional tidak setengah hati, atau malah menghindar karena takut merugi melayani pasar-pasar baru dan nontradisional, dengan berbagai karakteristik yang berbeda-beda, di tengah menumpuknya stok dan tekanan eksternal lainnya.

Terlebih lagi, Indonesia sedang bersemangat dalam penghiliran industri, tentunya insentif produk hilir sawit akan mendukung pengusaha untuk masuk ke pasar-pasar kecil. Yang penting lagi, Indonesia jangan sampai kehilangan momentum.

 

Sumber: Bisnis Indonesia