Joko Supriyono terpilih kembali sebagai Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk periode kedua. Ia terpilih melalui proses Musyawarah Nasional (Munas) GAPKI pada awal April 2018.

Selain terpilih kembali, Joko yang saat ini juga menduduki posisi penting di PT Astra Agro Lestari Tbk, juga harus melaksanakan jabatannya tersebut selama lima tahun. Sebab, sebelumnya, peraturan soal masa jabatan ketua umum dan pengurus yang ditetapkan hanya tiga tahun diubah oleh Munas menjadi lima tahun.

Kepada MedanBisnis dalam berbagai kesempatan, Joko menyebutkan jabatan Ketua Umum GAPKI bukan hal yang mudah untuk dijalankan. Namun mandat yang ia terima tetap harus dilaksanakan, apalagi sawit dalam beberapa tahun terakhir menjadi penopang utama ekonomi nasional terbesar, menggantikan minyak dan gas bumi (migas).

Di saat yang sama, Joko melihat tekanan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap sawit cukup kuat. Ada “kecemburuan” AS dan UE terhadap sawit Indonesia, sebab minyak nabati non-sawit produksi UE dan AS mahal dan tidak banyak diserap pasar dunia.

Yang terbaru, sebuah supermarket besar di Inggris Raya, yakni Iceland Co, melakukan kampanye penggunaan minyak sawit dalam setiap merek produk yang dijual di supermarket tersebut. Ini tentu menimbulkan protes keras Indonesia dan negara-negara produsen sawit.

Lalu, bagaimana sikap GAPKI dan Joko Supriyono sebagai Ketua Umum GAPKI dalam melihat semua ini? Berikut petikan wawancara MedanBisnis (MB) dengan Joko Supriyono (JSu) pasca terpilih sebagai Ketua Umum GAPKI periode 2018-2023:

MB:
Pak Joko, Anda terpilih kembali menjadi Ketua Umum GAPKI, dan periode kepengurusan pun secara resmi diperpanjang dari tiga tahun menjadi lima tahun. Apa makna keterpilihan Anda kembali serta perpanjangan masa jabatan ini?

JSu:
Artinya, perusahaan yang menjadi anggota GAPKI mendukung penuh apa yang dilakukan GAPKI dalam memperjuangkan industri minyak sawit Indonesia selama ini. Dan perjuangan untuk mencapai “industri sawit Indonesia yang berdaya saing dan berkelanjutan” tidak boleh berhenti, dan itu tidak bisa dicapai seketika. Perlu program yang berkesinambungan.

MB:
Kita sudah melihat sendiri, Presiden Joko Widodo menunjukan pembelaan yang kuat terhadap kelapa sawit, termasuk komitmen terhadap petani sawit. Bagaimana Anda, Pak Joko Supriyono, dan para pengurus GAPKI melihat hal ini, sekaligus merealisasikan secara kuat kemitraan terhadap petani sawit seperti yang disuarakan GAPKI pada IPOC 2017?

JSu:
Industri sawit telah terbukti menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya yang berdampak langsung di daerah pedesaan dan menyangkut masyarakat petani. Juga industri sawit menjadi penyumbang ekspor terbesar.

Terimakasih kepada Presiden Joko Widodo yang mendukung penuh dan berkomitmen memajukan industri sawit, khususnya melalui peningkatan produktifitas kebun petani. Perusahaan perkebunan sudah dan terus ambil bagian dalam meningkatan produktifitas kebun sawit milik rakyat.

MB:
Tantangan dan hambatan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat terus datang bertubi-tubi. Bagaimana cara Anda dan pengurus GAPKI menghadapi hal ini secara permanen, dalam arti tidak case by case? Apakah GAPKI, menurut Bapak, membutuhkan support pemerintah dalam menghadapi tekanan-tekanan tersebut?

JSu: Hambatan perdagangan dibuat oleh negara tujuan impor sawit indonesia, sehingga ini ranah G to G (Goverment to Goverment, Pemerintah ke pemerintah -red). Kita perlu Pemerintah untuk secara bersama-sama menyelesaikan berbagai hambatan perdagangan ini.

Dan yang pasti, diperlukan strategi nasional tentang perdagangan global ini. Indonesia harus mengamankan kinerja ekspor sawit sebagai penyumbang terbesar ekspor terbesar. Sehingga ini harus menjadi bargaining position (posisi tawar) untuk menyusun strategi di tiap negara tujuan ekspor sawit.

MB:
Negara-negara di Asia yang menjadi pasar tradisional sawit Indonesia pun mulai “menghambat” ekspor CPO kita, dengan cara menaikkan bea masuk. Motif mereka sepertinya ingin keadilan perdagangan antardua negara.

Menurut Bapak, apakah pemerintah mesti berkorban untuk satu atau dua komoditas non-sawit agar produk negara-negara Asia tersebut bisa masuk ke Indonesia?

JSu:
Justru kalau kita sudah tahu masalah di tiap negara dan kita sudah punya strategi nasional unggulan ekspor maka bicaranya adalah kerjasama perdagangan bilateral antarnegara. Tiap negara kan ada (produk komoditas ekspor -red) spesifiknya.

MB:
Khusus bagi Sumut dan Aceh yang menjadi pasar Harian MedanBisnis, apa saran Bapak terhadap pemerintah daerah (Pemda) yang terkesan tidak memberikan support penuh kepada perkebunan sawit, baik milik petani atau pun perusahaan? Bagaimana Bapak dan GAPKI menanggapi keluhan mereka yang menilai kontribusi sawit terhadap pembangunan fisik serta PAD (Pendapatan Asli Daerah) tidak maksimal?

JSu:
Kontribusi sawit untuk Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sangat signigikan. Untuk Provinsi Aceh, rakyat sangat giat untuk terus menanam (sawit).
Seharusnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh mendukung pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh rakyatnya sendiri, bukan malah membuat berbagai hambatan.

Saya berpendapat, rakyat Aceh akan sejahtera jika menanam sawit. Nah, kalau soal PAD, kan sudah ada undang-undang yang mengaturnya. Yang pasti, kontribusi sawit terhadap ekonomi daerah sangat signifikan.

 

Sumber: Medanbisnisdaily.com