JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya untuk konsisten melanjutkan program mandatori biodiesel, baik B30, B50, maupun B100, sebagai salah satu upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Berdasarkan Konvensi Perubahan Iklim yang telah diratifikasi, Indonesia memiliki target untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada 2030 dan atau 41 % dengan dukungan kerja sama teknik dari luar negeri. Melalui penurunan GRK itu, Indonesia berharap membantu mengendalikan perubahan iklim global.

Demikian disampaikan Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas tentang Kelanjutan Kerja Sama Penurunan Emisi GRK Indonesia dan Norwegia serta Kebijakan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (Carbon Pricing) di Jakarta, Senin (6/7). Dalam rapat tersebut, Kepala Negara menyatakan bahwa penurunan emisi GRK, termasuk kerja sama Indonesia-Norwegia yang harus terus berlanjut, merupakan salah satu agenda strategis nasional pemerintah saat ini selain persoalan pengendalian Covid-19.

Jokowi menuturkan, untuk menurunkan emisi GRK, langkah pertama yang harus dilakukan adalah Indonesia harus terus konsisten menjalankan dan melanjutkan program pemulihan lingkungan, perlindungan gambut, dan percepatan
rehabilitasi hutan dan lahan, terkait itu maka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus diwaspadai mengingat saat ini telah masuk musim panas (kemarau). “Perlindungan biodiversity yang sudah melekat sebagai upaya pengendalian hutan dan pemulihan habitat juga harus dipastikan betul-betul berjalan di lapangan, pun pengembangan biodiesel B30, B50, dan akan ke B100 agar terus dilanjutkan, juga pengembangan energi surya, energi angin, saya kira kita juga sudah memulai ini,” kata Jokowi.

Langkah kedua dalam penurunan GRK adalah segera menyelesaikan seluruh tahapan dalam menurunkan emisi GRK, yakni regulasi dan instrumen pendanaan termasuk insentif bagi pemangku kepentingan. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa pengaturan karbon betul-betul berdampak signifikan bagi pencapaian target penurunan GRK sebesar 26% pada 2020 dan 29% pada 2030. “Kita memiliki kesempatan banyak, baik itu di lahan hutan gambut, hutan mangrove, dan juga hutan lainnya,” jelas Jokowi.

Jokowi menjelaskan, berdasarkan Konvensi Perubahan Iklim yang telah diratifikasi, Indonesia memiliki target penurunan emisi GRK 29% pada 2030 dan 41% dengan dukungan kerja sama teknik dari luar negeri. Merujuk hal tersebut maka Indonesia memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi GRK dari sektor kehutanan 17,20%, sektor energi 11%, sektor limbah 0,32%, sektor pertanian 0,13%, serta sektor industri dan transportasi 0,11%. “Untuk itu, kerja sama penurunan emisi GRK Indonesia dan Norwegia juga harus berlanjut, proses kerja sama ini juga sudah cukup panjang, sejak 2010 dan Indonesia terus berkomitmen menurunkan GRK sebanyak 26% pada 2020 dan meningkat 29% pada 2030,” papar Jokowi.

Berlanjut Hingga 2030

Dalam kesempatan itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyampaikan, sesuai arahan Presiden Jokowi maka kerja sama Indonesia-Norwegia dalam penurunan GRK dilanjutkan sampai 2030. Pembayaran dari hasil kerja pemenuhan komitmen untuk penurunan emisi GRK antara Indonesia dengan Norwegia dan juga rencana pengaturan carbon pricing akan disusun dalam bentuk peraturan presiden (perpres). “Ada tiga hal letter ofintent (LoI), kerja sama antara Indonesia dan Norwegia itu sudah dilakukan sejak 26 Mei 2010, seperti arahan Bapak Presiden maka kita akan melanjutkan,” ujar dia.

Terkait kelanjutan kerja sama hingga 2030, Siti mengatakan, ada beberapa hal yang disesuaikan seperti keberadaan punish agreement. “Di LoI tahun 2010 dikatakan bahwa komitmen Indonesia itu 26% pada 2020 dan di UU No 16Tahun 2016 tentang ratifikasi perubahan iklim itu sudah kita sesuaikan,” kata dia. Jadi, besaran penurunan emisi GRK pada 2030 adalah 29% dan atau 41% penurunan emisi GRK pada 2030 dengan dukungan kerja sama teknik luar negeri. LoI itu bahkan telah menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia dalam rangka reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).

Prestasi Indonesia dalam kerangka REDD+ itu sangat banyak, di antaranya dalam penanganan gambut dan inpres moratorium perizinan yang mulai dipermanenkan pada 2019 yang artinya sejak 2019 sudah tidak tidak boleh lagi ada izin baru di hutan primer dan di lahan gambut. Pemerintah RI juga bekerja keras untuk penanganan karhutla, penurunan deforestasi, serta penegakan hukum. “Ada energi angin yang di Sulawesi, kemudian electro-mobility juga kita sudah mulai, kemudian juga biodiesel B30 yang akan menjadi B50. Bapak Presiden malah sudah mengarahkan akan ke B80 atau kalau mungkin ke B100,” ujarnya.

Atas prestasi itu, Indonesia sendiri mendapatkan insentif dari Norwegia, telah disepakati bahwa 11 juta ton emisi yang berhasil diturunkan itu senilai US$ 56 juta atau Rp 800 miliar akan diperoleh Indonesia. Dengan insentif itu, berarti Indonesia terus konsisten terhadap komitmennya dalam penurunan emisi GRK dunia. Sedangkan terkait pengaturan perdagangan karbon, Menteri LHK menyampaikan, regulasinya sudah disiapkan dan sekarang sudah dibahas di tingkat Setkab, Setneg, dan segera ke Kemenkumham untuk diselaraskan antarke-menterian. Melalui regulasi itu, Indonesia menjamin pencapaian kontribusi penurunan emisi GRK atau National Determined Contribution (NDC).

 

Sumber: Investor Daily Indonesia