Jakarta, Gatra.com – Jurus yang dibikin oleh Kementerian Keuangan terhadap ekspor Crude Palm Oil (CPO) ini boleh dibilang sangat sederhana; Pungutan Ekspor (PE) dibikin progresif — pungutan yang nilainya naik mengikuti kenaikan harga objek pungutan.
Tapi dampaknya sangat luar biasa. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri.
Harga CPO di luar negeri terus melambung. Yang tadinya harga tender CPO di Dumai, Riau masih Rp9.900 per kilogram, sekarang sudah di kisaran Rp11.700 per kilogram.
Melambungnya harga ini lantaran volumenya semakin terbatas ulah sikap produsen yang lebih memilih mengolah CPO di dalam negeri menjadi produk hilir ketimbang mengekspor.
Volume yang terbatas ini membuat orang di luar negeri semakin blingsatan. Maklum, mau membeli Soya Oil, harganya lebih mahal USD400 per ton ketimbang minyak sawit.
Sebetulnya, produsen lebih memilih CPO dijadikan produk hilir lantaran PE nya jauh lebih murah. Tapi pilihan ini justru membikin industri hilir CPO di dalam negeri menjadi berkembang.
Akibatnya, lapangan kerja di dalam negeri terbuka lebar, pajak dan devisa membuncah, petani sawit sumringah lantaran harga Tandan Buah Segar (TBS) nya kian mempesona.
Menengok kenyataan ini makanya Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta supaya pemerintah konsisten dengan model pungutan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 191 tahun 2020 itu.
“Model PE yang sekarang membuat ekspor produk hilir meningkat pesat. Investasi hilir terus bertambah. Jadi, menurut kami PE model begini sudah sejalan dengan program hilirisasi,” kata Ketua Umum GIMNI, Bernard Riedo, dalam siaran persnya yang diterima Gatra.com, tadi siang.
GIMNI kemudian menyodorkan data bahwa sepanjang Januari hingga April 2021, komposisi ekspor produk hilir (high value add) berkisar 80%-90%. sementara ekspor minyak sawit mentah (CPO & CPKO, low value add) menukik ke angka 10%-20%.
Kalau dijadikan angka, ekspor CPO Januari dan turunannya mencapai 2,861 juta ton. Sekitar 24% Crude Oils (CO), sisanya Palm Processed Oils (PPO).
Bulan berikutnya, volume ekspor sawit dan turunannya 1,994 juta ton; CO 20%, sisanya PPO.
Pada bulan Maret, ekspor itu naik menjadi 2,63 juta ton. tapi CO justru hanya 12%, sisanya PPO.
Bulan lalu, ekspor CO itu malah turun lagi menjadi 10,6% dari total 3,078 juta ton ekspor minyak sawit dan turunannya.
“Tingginya ekspor produk hilir ini akan memberikan nilai tambah lebih besar bagi industri sawit di dalam negeri,” kata Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga.
Di luar negeri kata Sahat, telah berdampak pada harga minyak bumi. Kalau di periode yang sama tahun lalu masih di angkaUSD 37,2 per barel sekarang sudah bertengger di angka USD 67 per barel.
“Dampaknya mantap kali kan? Kalau ada orang bilang PE ini akan menguntungkan negara penghasil sawit lainnya, itu kan katanya. Faktanya saja tengok. Dengan PE yang sekarang, harga TBS petani melejit. Dua tahun lalu, saat pungutan enggak ada, harga TBS petani justru ngendon di angka Rp700-Rp850 per kilogram,” Sahat mengurai.
Kebijakan tarif pungutan sudah tepat di tengah kondisi sekarang. Komposisi ekspor yang dominan hilir, dikatakan Sahat, menunjukkan tarif pungutan sangat efektif. Dampak positifnya mendongkrak harga TBS petani.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung tak menampik omongan Sahat itu.
Lelaki 48 tahun bilang bahwa saat ini petani sawit di 22 provinsi penghasil sawit, sangat menikmati tingginya harga TBS.
“Mereka jadi leluasa membelanjakan duitnya. Duit belanja ini menggerakkan ekonomi di daerah,” kata kandidat doktor lingkungan Universitas Riau ini.
Gulat sepakat model PE yang sekarang dipertahankan saja dan jangan sampai terpengaruh dengan omongan-omongan tak jelas.
“PE ini telah membikin pengusaha CPO melek dengan hilirisasi. Ini berarti serapan sawit di dalam negeri menjadi besar. Ini menjadi kunci stabilnya harga TBS. Adapun instrumen penyerapan minyak sawit ini salah satunya kebijakan mandatori biodiesel,” katanya.
Yang pasti kata Gulat, besarnya serapan dalam negeri ini telah membuat pabrik sawit beroperasi 24 jam dan tak ada lagi istilah tanki penyimpan penuh.
Sumber: Gatra.com