JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah produktivitas perkebunan adalah menerapkan teknologi terkini, dari teknologi hemat air, biodiversitas, hingga bioteknologi. “Sehingga pusat riset menjadi penting,” kata dia saat membuka “World Plantation Conferences and Exhibition”, di Jakarta, kemarin.

Ia mengambil contoh perkebunan kelapa sawit rakyat yang hanya menghasilkan 2 ton per hektare setahun. Padahal, kebun yang dikelola korporasi bisa panen hingga 5 ton sawit per hektare setahun. “Karena itu, harus didukung bibit dan teknologi yang bagus supaya bisa memproduksi 7-8 ton sawit per hektare setahun.”

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang, mengatakan luas perkebunan sawit di Indonesia sekarang 11,9 juta hektare. Sebanyak 48 persen atau 4,7 juta hektare di antaranya merupakan perkebunan rakyat. Sayangnya, perkebunan rakyat itu tidak ditunjang bibit yang baik, sehingga tanaman yang dihasilkan tidak produktif.

Pemerintah berupaya mereplantasi perkebunan rakyat dengan memberikan bibit berkualitas. Ke depan, kebun rakyat diharapkan bisa menghasilkan sawit hingga 8 ton per hektare setahun. Bila target itu tercapai, negara diperkirakan bakal memperoleh nilai tambah sebesar Rp 125 triliun. “Itu baru dari minyaknya, belum bicara dampak sosial dan penyerapan tenaga kerja di daerah,” kata Bambang.

Menurut rencana, pemerintah bakal membagikan 35 juta benih secara gratis kepada para petani. Hal itu dilakukan secara simbolis dalam pembukaan World Plantation Conferences and Exhibition 2017 yang diselenggarakan PT Riset Perkebunan Nusantara.

“Sebanyak 35 juta benih sudah disiapkan di desa-desa,” kata Bambang.

Pada akhir pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan komitmen pemerintah menyalurkan 35 juta benih tanaman perkebunan unggulan, seperti kelapa sawit, kopi, pala, lada, dan karet. Di Sumatera Selatan, kata Jokowi, pemerintah membantu meremajakan 4.400 hektare kebun sawit yang sudah tua.

Ihwal perkebunan yang masuk kawasan hutan, Jokowi mengaku sudah memerintahkan agar lahan itu dikeluarkan, sehingga bisa diberi sertifikat. “Tapi ini khusus untuk kebun sawit milik rakyat,” ujar dia. Setelah di Sumatera Selatan, mulai bulan depan hingga akhir tahun program ini akan berjalan di Sumatera Utara, Jambi, dan Riau. “Tahun depan saya dorong masuk ke Kalimantan.” Penyediaan benih itu melibatkan banyak pihak mulai dari pusat-pusat penelitian hingga perguruan tinggi.

Adapun kopi. Bambang menambahkan, dengan luas lahan 1,3 juta hektare, hanya menghasilkan 600-700 kilogram per hektare setahun. “Padahal Vietnam, yang belajar dari Indonesia, bisa memproduksi 3-4 ton per hektare setahun,” kata dia. Bila bisa dinaikkan hingga mencapai produksi 3 ton per hektare per tahun, dia memperhitungkan raupan Indonesia dari kopi bisa naik lima kali lipat.

Demikian pula kebun kakao, ujar Bambang, menghasilkan 700-800 kilogram per hektare setahun. Pemerintah sempat menyuntik bantuan melalui gerakan nasional kakao. “Tapi gerakan itu baru 26 persen.”

Persoalan produktivitas juga terjadi di perkebunan tebu yang hanya menghasilkan 40 ton per hektare setahun, dengan rendemen yang rendah. Padahal, pada zaman Belanda dulu mencapai 150 ton per hektare setahun.

GAESAR SAKBAR | Retno Sulistyowati

 

Sumber: Koran Tempo