Pengenaan bea masuk sebesar 20-25 persen terhadap produk susu dan turunan (dairy product) Uni Eropa belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. Namun, pemerintah akan mengirimkan nota keberatan dan protes kepada Uni Eropa dengan menunjuk kuasa hukum (law firm). Penunjukan kuasa hukum untuk melawan diskriminasi sawit dan biodiesel dari Uni Eropa atas produk biodiesel Indonesia yang dikenakan bea masuk sebesar 8-18 persen.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan, butuh proses yang panjang sebelum kebijakan tersebut diterapkan.

“Saat ini belum ada tindak lanjut. Tapi, akan kita lihatlah soal pengenaan bea masuk dairy product,” kata Enggar di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Pemerintah, lanjut Enggar, juga perlu mengumpulkan para importir produk olahan susu Eropa terlebih dahulu. Namun, ia menyarankan lebih baik para importir mencari sumber impor produk olahan susu selain dari Eropa.

“Para importir ini sama dengan kita punya semangat nasionalisme tinggi. Akan kita aturlah pertemuannya. Kalau bisa jangan pakai dairy product dari sana (Eropa). Kan banyak produk sejenis yang dari Amerika, kualitasnya bagus,” ujar Enggar.

Menanggapi pernyataan Uni Eropa terkait pengenaan tarif 20-25 persen produk olahan susunya dapat merusak perekonomian Indonesia, menurut Enggar, hal tersebut akan berlaku sama di Eropa apabila mereka mengenakan tarif 8-18 persen terhadap biodiesel Indonesia.

“Ya dikenakan 8-18 persen (biodiesel Indonesia) apa tidak merusak ekonomi Eropa?” tegas Enggar.

Selain menyiapkan aksi balasan terhadap diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit RI, pemerintah tengah menyiapkan perlawanan melalui jalur hukum perdagangan internasional.

Sekretaris Jenderal Kemendag Oke Nurwan mengatakan, pihaknya telah menunjuk kuasa hukum untuk menindaklanjuti nota keberatan atas pengenaan tarif bea masuk 8-18 persen terhadap biodiesel Indonesia di Uni Eropa.

“Kita sudah menunjuk law firm dari luar negeri. Mereka sudah berpengalaman mengatasi dan menindaklanjuti kasus perdagangan internasional seperti ini,” kata Oke.

Namun, ia enggan menginformasikan nama lembaga kuasa hukum asing tersebut.

“Kami belum bisa tetapkan karena belum ada kontrak dengan law firm itu. Kita sudah pastikan tim teknis dan sudah ada rapat eselon I sesuai yang diamanatkan rakor (rapat koordinasi) untuk ditetapkan siapa (kuasa hukumnya),” terang Oke.

Nantinya, kuasa hukum RI tersebut akan mengambil alih proses negosiasi dengan Uni Eropa apabila kontrak kerja sama dengan RI sudah dibuat.

Langkah-langkah yang akan diambil Indonesia terhadap kebijakan Uni Eropa tersebut pun akan dikelola oleh kuasa hukum tersebut.

“Lawfirm akan ambil alih dan tentukan langkah apa yang diambil. Mereka mewakili pemerintah,” papar Oke.

Seperti diketahui, Uni Eropa telah menerbitkan Delegated Regulation Supplementing Directive of The UE Renewable Energy Directive (RED) II. Dalam rancangan Delegated Regulation, Komisi Uni Eropa memutuskan untuk mengklasifikasikan minyak Kelapa Sawit (CPO) sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi.

Akibatnya, konsumsi CPO untuk biofuel atau Bahan Bakar nabati (BBN) akan dibatasi pada kuota saat ini hingga tahun 2023. Selanjutnya, konsumsi CPO untuk biofuel akan dihapuskan secara bertahap hingga menjadi nol persen pada 2030.

 

Sumber: Rakyat Merdeka