JAKARTA-Kemitraan yang telah terjalin antara perusahaan dan petani sawit harus lebih diperkuat guna menjaga keberlangsungan rantai pasok. Kemitraan yang sinergis antara korporasi dan petani bisa dilakukan melalui penguatan kelembagaan di tingkat petani dengan menerapkan prinsip keterbukaan dan tata kelola manajemen sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara petani dan perkebunan kelapa sawit.

Kemitraan merupakan elemen penting dalam industri sawit karena terkait aspek persaingan usaha dan keberlanjutan industri ke depan, kemitraan petani dengan perusahaan perkebunan sawit merupakan kunci dasar kekuatan dalam peningkatan daya saing. Wakil Ketua Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) Bidang Urusan Organisasi Kacuk Sumarta mengatakan, rantai pasok industri sawit tidak bisa dipisahkan antara petani dan perusahaan. Jika ada hambatan dalam rantai pasok tersebut maka akan berdampak pada keberlangsungan industri sawit itu sendiri. “Pola kemitraan petani-perusahaan sawit harus sejalan dan satu visi, jangan sampai ada salah paham, ini bisa membahayakan industri sawit,” ujar dia.

Pemerintah telah mengatur pola kemitraan antara perusahaan dan petani sawit melalui Permentan No 1 Tahun 2018 mengenai pedoman penetapan harga pembelian tandan buah segar (TBS) sawit produksi pekebun yang disesuaikan ketetapan masing-masing provinsi setiap bulannya. Kelembagaan petani harus bemitra dengan pabrikkelapa sawit (PKS) dan permentan tersebut berlaku bagi petani swadaya dan petani plasma. Kemitraan hendaknya berdasarkan asas manfaat, berkelanjutan, saling memerlukan, dan saling menguntungkan. Biasanya, perselisihan yang terjadi antara petani dan perusahaan adalah mengenai penentuan harga TBS maka dari itu perlu keterbukaan.

Usaha perkebunan sawit mempunyai karakteristik bisnis tertentu yaitu produk utama yang diperjualbelikan adalah minyak mentah, TBS memerlukan pengolahan segera pada PKS untuk menghasilkan minya sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak kernel (palm kernel oul/PKO). Dengan situasi tersebut, aturan yang sudah dibuat pemerintah telah menciptakan sebuah kelembagaan kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang biasanya dimulai dari fase perancangan dan dikembangkan menjadi berbagai variasi sesuai perkembangan zaman. Secara historis, pola kebijakan kemitraan perkebunan sawit dibagi tiga fase, yaitu inisiasi, implementasi, serta perluasan dan pengembangan pola kemitraan.

Tahun ini, Gapki fokus untuk memperkuat kemitraan dan akan memanfaatkan potensi kebun petani dengan semaksimal mungkin dan berupaya mengurangi kesalahpahaman terkait penentuan TBS. Pada 2021, sudah ada vaksinasi Covid-19 sehingga industri kelapa sawit nasional diperkirakan bangkit dan tentunya pola kemitraan perlu lebih diperkuat. “Penguatan program kemitraan menjadi prioritas Gapki tahun ini dan kami akan terus memantau perkembangan di lapangan,” ujar dia dalam Ngobrol Bareng Gapki, Selasa (2/2).

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategi Berkelanjutan Achmad Mangga Barani mengatakan, kerja sama antara perusahaan dan petani harus berdasarkan asas persamaan kedudukan, keselarasan, dan peningkatan kemitraan. Pada dasarnya, kemitraan adalah kerja sama yang kuat antara usaha besar (perusahaan) dengan usaha kecil (petani). “Banyak pola kemitraan yang sudah dijalankan dalam industri sawit, yaitu pola PIR, perdagangan umum melalui jual beli TBS, fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, dan peremajaan sawit rakyat,” kata dia. Upaya mendorong terwujudnya kemitraan yang hebat butuh peran pemerintah pusat dan daerah, juga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga pengawas.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia