JAKARTA-Tren kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional pada paruh pertama tahun ini akan berlanjut pada periode paruh kedua. Permintaan yang masih tinggi, terutama dari pasar India, menjadi pemicu kenaikan harga komoditas perkebunan tersebut. Harga CPO pada semester 11-2021 diperkirakan bisa meningkat 6-8% dari semester 1-2021 dan rata-rata harga komoditas itu sepanjang tahun ini tetap bertengger di angka US$ 1.000 per ton.

Dalam data Bank Dunia disebutkan, harga CPO sepanjang semester 1-2021 telah mencapai US$ 1.049 per ton. Angka itu jauh melebihi rata-rata harga CPO pada semester 1-2020 yang hanya US$ 700 per ton. Selain itu, jauh lebih tinggi dari rata-rata harga sepanjang tahun 2020 sebesar US$ 752 per ton dan sepanjang 2019 yang hanya sebesar US$ 601 per ton. Bank Dunia sendiri memproyeksikan harga CPO sepanjang tahun ini di angka US$ 975 per ton dan pada 2022 sebesar US$ 983 per ton.

Sementara itu, harga CPO di Bursa Malaysia juga menunjukkan tren peningkatan sejak awal bulan ini. Harga CPO sempat turun jauh pada Juni dengan titik terendah RM 3.375 per ton namun pada Juli ini menunjukkan pergerakan hingga di atas RM 3.700 per ton. Harga CPO di Bursa Malaysia sempat menyentuh RM 4.500 per ton pada Mei 2021. Sementara itu, harga CPO di bursa tersebut pada Senin (12/7) mencapai RM 3.863 per ton dan terus menanjak menjadi RM 4.111 per ton pada Kamis (15/7).

Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang menuturkan, harga CPO pada semester II-2021 masih akan menguat dengan kenaikan dibanding semester 1-2021 di kisaran 8% dan hingga akhir tahun harga CPO tetap di angka US$ 1.000 per ton. Faktor utama yang mempengaruhi harga CPO tetap berada di level terkuatnya adalah permintaan terhadap minyak nabati dunia yang terus meningkat, terutama untuk soybean yang diekori CPO. “Harga CPO pasti akan mengikuti permintaan soybean, jika harga soybean naik pasti harga CPO juga terdampak positif, ikut naik,” kata dia saat dihubungi Investor Daily, Jumat (16/7).

Togar menjelaskan, sejak pertengahan tahun lalu kenaikan harga CPO membonceng minyak matahari (sunflower), sedangkan mulai awal tahun ini pergerakannya membonceng minyak kedelai (soybean) karena ada masalah produksi di Amerika Utara dan Amerika selatan. “Sampai akhir tahun ini, harga CPO akan tetap mengacu harga soybean, soybean ke mana harga

CPO ikut, soybean happy CPO happy. Soybean dan soft oil termasuk minyak sawit, biodiesel, pergerakannya sejalan perekonomian yang membaik. Kalau situasi Covid-19 dan ekonomi membaik, program biodiesel termasuk di RI jalan, itu menjadi faktor tambahan yang membuat harga minyak nabati membaik. Kami berpikir rata-rata harga CPO (FOB) bisa US$ 1.000 per ton tahun ini,” kata Togar.

Menurut Togar, kebijakan Pemerintah Indonesia yang menurunkan tarif pungutan ekspor (PE) tidak terlalu berdampak ke harga CPO, kebijakan itu lebih banyak berpengaruh kepada industri hilir. “Tarif PE yang lebih rendah pada produk hilir akan bermanfaat dalam mendorong hilirisasi sawit di dalam negeri,” jelas dia. Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menyesuaikan tarif PE produk sawit sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No: 76/ PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No: 57/ PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Ekonom senior Indef Fa-dhil Hasan mengatakan, harga CPO pada semester 11-2021 akan terus menguat dan tetap stabil tinggi. Kenaikan harga CPO dipengaruhi permintaan minyak nabati global yang meningkat dan CPO menjadi pilihan komoditas yang dicari. Kebijakan India yang memangkas tarif bea masuk (BM) juga berpengaruh pada harga CPO global ditambah India merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia. Karena kondisi Covid-19 di India semakin meningkat maka pemerintahnya memberlakukan insentif pemangkasan tarif BM dan kebijakan ini berdampak positif pada pergerakan harga CPO. “Harga CPO terus membaik dan akan terus menguat hingga akhir tahun, saya tidak bisa memperkirakan pada level berapa tetapi tidak akan menurun,” ujar dia, Sabtu (17/7).

Pilihan Utama

Sementara itu, analis pasar modal dan ekonom dari LBP Institute Lucky Bayu Purnomo mengatakan, harga CPO sempat melemah pada Juni namun saat ini grafik harga CPO terus menguat. Tren harga CPO pada semester 11-2021 cenderung menguat pada kisaran 6-8% dari semester sebelumnya. Selain faktor India, sentimen penguatan harga CPO adalah kinerja sektor perkebunan tersebut yang ters membaik. Para investor atau trader perdagangan global senang memilih sawit sebagai trade commodity. “Harga CPO hingga akhir tahun bergerak di level US$ 1.000 per ton karena apresiasi minyak nabati dunia lain mulai menurun dan minyak sawit menjadi pilihan utama para investor,” papar dia.

Lucky Bayu berpendapat, kebijakan relaksasi tarif PE dari pemerintah tidak akan terlalu nempengaruhi ekspor CPO nasional. Kinerja ekspor lebih ditentukan oleh harga CPO yang memang sedang menguat. “Pasar akan memberikan atensi lebih kepada harga daripada kebijakan. Kebijakan itu bersifat statis dan dapat digunakan dalam jangka panjang, sementara harga bersifat dinamis,” tutur dia.

Seperti dilansir Antara, harga CPO di Medan, Sumatera Utara (Sumut), kembali menguat menjadi Rp 11.748 per kilogram (kg) pada Jumat (16/7) setelah pada Juni sempat turun dengan harga rata-rata Rp 9.863 per kg.

Sebelumnya, harga CPO sedikit tertekan karena panen kelapa sawit diperkirakan masih banyak. “Harga jual CPO yang menguat pada Juli itu terlihat sejak awal bulan yang mana pada 6 Juli 2021 sudah menembus Rp 11.118 per kg,” ujar Sekretaris Eksekutif Gapki Sumut Darma Sucipto. Harga CPO pada tender Kharisma Perusahaan Bersama Nusantara (KPBN) pada Juli terus naik dari 1 Juli yang masih Rp 10.513 per kg menjadi Rp 11.748 per kg pada Jumat (16/7).

 

 

Sumber: Investor Daily Indonesia