JAKARTA – Pemerintah didesak melonggarkan pungutan ekspor produk turunan minyaksawitmentah (crude palm oil/ CPO), khususnya minyak goreng.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebut, hal itu dibutuhkan untuk menangkal tren penurunan volume dan nilai ekspor CPO selama ini.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor CPO Januari-Mei 2018 mencapai US$8,37 miliar, atau turun dari periode yang sama tahun lalu senilai US$9,92 miliar.

“Janjinya dulu setelah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS) didirikan pada 2015, tarif pungutan ekspor sawit dan turunannya akan dievaluasi utang, maksimal 2 tahun setelahnya. Namun, sampai sekarang tidak dilakukan,” katanya, Selasa (10/7).

Dia menuturkan, pada awalnya para pengusaha sawit menolak besaran tarif pungutan ekspor tersebut. Akan tetapi, BPDPKS berdalih dana pungutan itu akan digunakan untuk subsidi biodiesel.

Namun, di tengah kondisi ekspor sawit yang melempem. Sahat berharap pemerintah mengubah kebijakan pungutan ekspor minyak goreng. Dia meminta agar tarif ekspor minyak goreng kemasan diturunkan dari US$20/ton menjadi US$2/ton.

Hal itu dilakukan agar produk turunan CPO tersebut bisa bersaing dengan produk buatan Malaysia yang dibebaskan dari tarif ekspor. Tak hanya itu, insentif tersebut diyakini mampu mendorong minat pebisnis untuk mengekspor produk minyak goreng dalam kemasan.

“Minat ekspor minyak (go-rengl kemasan masih kecil, sebab pungutannya tinggi, belum lagi biaya produksinya karena harus menghitung kemasaan-nya,” katanya.

Dia juga meminta pungutan untuk minyak goreng curah direvisi dari US$30/ton menjadi US$20/ton guna menarik minat eksportir minyak goreng curah, sekaligus membantu mengurangi kelebihan stok dalam negeri.

Sementara itu. Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan saat ini minat pasar global terhadap produk minyak goreng kemasan cukup besar.

“Survei kami, negara seperti Vanuatu, Fiji dan sejumlah negara Afrika berminat sekali pada minyak sawitk emasan. Namun, suplai dari Indonesia terbatas karena jarang ada yang mau main di situ (minyak goreng kemasan], karena Ipungutan ekspornya) mahal ,” ujarnya.

Dia melihat, pangsa pasar ekspor minyak goreng curah mulai terbatas. Pasalnya, negara pengimpor harus menyediakan tangki penampung minyak goreng curah dan harus mengemas ulang sebelum didistribusikan.

 

 

Sumber: Bisnis Indonesia