JAKARTA – Konsumsi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) domestik pada semester 11-2018 diperkirakan mencapai 7 juta ton, atau melonjak 12,90% dari realisasi konsumsi semester 1-2018 yang sebesar 6,20 juta ton. Perluasan program mandatori biodiesel 20% (B20) yang diberlakukan per 1 September 2018 turut memicu lonjakan konsumsi CPO di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, lonjakan konsumsi CPO domestik pada semester 11-2018 salah satunya dipicu oleh pemberlakuan wajib perluasan penggunaan B20 ke segmen bukan PSO. “Estimasi konsumsi CPO dalam negeri sepanjang Juli-Desember 2018 bisa mencapai 6,70 juta ton atau meningkat sekitar 500 ribu ton dari konsumsi semester 1-2018 yang sebanyak 6,20 juta ton. Tapi kalau pelaksanaan perluasan B20 ini agresif, konsumsi CPO domestik pada semester 11-2018 bisa 7 jutaan ton. Karena katanya ada ketentuan sanksi berupa denda,” kata Sahat di Jakarta, pekan lalu.

Pada semester 1-2017, konsumsi CPO domestik juga tercatat sebanyak 6,20 juta ton, lalu naik tipis menjadi 6,30 juta ton pada semester 11-2017. Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan, konsumsi CPO domestik 2017 mencapai 11,06 juta ton dari total produksi 42,01 juta ton, sedangkan ekspor berupa CPO, lauric oil, oleokimia, dan biodiesel tercatat 32,18 juta ton. Pada awal 2017, tercatat ada stok sebanyak 3,75 juta ton.

Data Gapki juga menunjukkan, sepanjang Januari-Juli 2018, konsumsi CPO dan produk turunannya untuk pasar domestik secara berturut-turut adalah 974 ribu ton, 992 ribu ton, 977 ribu ton, 999 ribu ton, lalu menjadi 1,13 juta ton, 1,13 juta ton, dan menjadi 1,01 juta ton. Total konsumsi CPO dan produk turuannya sepanjang semester 1-2018 itu adalah 7,21 juta ton.

Sahat menjelaskan, konsumsi CPO nasional terbagi atas segmen pangan dan nonpangan. Pada semester I-2018, konsumsi CPO domestik untuk segmen pangan sebanyak 4,30 juta ton atau lebih tinggi dari prediksi awal yang hanya 4,10 juta ton. Konsumsi yang fantastis di segmen pangan tersebut dikarenakan adanya momen Lebaran yang jatuh pada semester I-2018. Sisanya merupakan konsumsi untuk segmen nonpangan. “Untuk semester II-2018, estimasi konsumsi CPO domestik untuk segmen pangan sekitar 4,30 juta ton dan sisanya untuk segmen nonpangan,” jelas dia.

Dari sisi produksi, lanjut Sahat, estimasi awal untuk 2018 adalah sebanyak 42 juta ton. Namun demikian, mengacu pada perkembangan hingga saat ini, produksi CPO nasional sampai akhir 2018 diprediksi bisa mencapai 43,90 juta ton. “Pada awalnya, estimasi kita hanya 42 juta ton untuk prduksi CPO karena khawatir ada api (kebakaran hutan dan lahan). Tapi ternyata nggak demikian. Musim kering tahun ini juga tidak berlebihan seperti dugaan awal. Karena itu, sampai akhir 2018, produksi CPO nasional bisa mecapai 43,90 juta ton,” kata Sahat

Sementara itu,Gapki mencatat, produksi CPO dan palm kernel oil (PKO) Indonesia pada Juli 2018 mencapai posisi tertinggi sejak 2015 karena ditopang oleh cuaca yang mendukung dan pengaruh El Nino dari dua tahun lalu sudah tidak ada. Di sisi lain, karena meningkatnya luas tanaman menghasilkan dan mendorong meningkatnya produksi tandan buah sawit(TBS). Data Gapki juga menunjukkan, produksi CPO dan PKO nasional pada Juli 2018 menembus angka 4.28 juta ton, naik dibandingkan produksi Juni 2018 yang tercatat 3,95 juta ton. Secara total, produksi CPO dan PKO nasional sejak Januari-Juli 2018 tercatat mencapai 26,61 juta ton.

Harga CPO

Mengenai harga, Sahat mengatakan, perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) akan menjadi faktor berpengaruh terhadap harga CPO di pasar internasional. Apabila perang dagang kedua negara itu masih tetap ketat maka sementara kebutuhan minyak di Tiongkok tetap tinggi dan ini akan memicu kenaikan harga. “Ini juga akan menopang kenaikan volume ekspor. Sementara panen kedelai di Argentina dan AS dilaporkan tidak begitu menggembirakan yang berakibat pada kenaikan harga kedelai. Disparitas harga antara kedelai dan sawit akan semakin tipis, memicu pilihan jatuh pada CPO untuk mensubtitusi minyak kedelai,” kata Sahat

Pemerintah Indonesia memperluas penerapan kewajiban pencampuran biodiesel B20 mulai 1 September 2018 sebagai salah satu upaya mengurangi defisit dan impor bahan bakar minyak serta menghemat devisa. Sasarannya adalah sektor yang masih belum optimal, terutama di sektor transportasi nonpublic service obligation (PSO), industri, pertambangan, dan kelistrikan. Dengan perluasan secara wajib tersebut. Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, mulai 1 September 2018 tidak akan ada lagi produk BO dj pasaran dan keseluruhannya berganti B20.

Darmin menuturkan, Badan Usaha (BU) BBM yang tidak melakukan pencampuran dan BU BBN yang tidak dapat memberikan pasokan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) ke BU BBM akan dikenakan denda Rp 6.000 per liter. Produk BO nantinya hanya untuk Pertadex atau Diesel Premium. Beberapa pengecualian dapat diberlakukan, terutama terhadap pembangkit listrik yang menggunakan turbine aeroderivative, alat utama sistem senjata (alutsista), serta perusahaan

tambang Freeport yang berlokasi di ketinggian. Terhadap pengecualian tersebut digunakan BO setara Pertadex. “Pemerintah juga akan terus mengupayakan perbaikan teknologi, infrastruktur, serta penerapan standar nasional Indonesia (SNI) produk biodiesel,” jelas Darmin.

Damiana Simanjuntak

 

Sumber: Investor Daily Indoenesia