JAKARTA – Pemerintah meyakini kontribusi lembaga penelitian kelapa sawit sangat penting untuk melawan kampanye negatif terhadap komoditas itu di sejumlah negara konsumen.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan pemerintah Indonesia sangat menghargai kontribusi lembaga penelitian, termasuk Indonesian oil palm Research Institute (IOPRI) atau Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS) dalam melawan kampanye hitam yang ditujukan kepada industri kelapa sawit.

“Institusi penelitian juga memegang peranan penting dalam tata kelola dan pengembangan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (18/7).

Dirinya mengemukakan kelapa sawit tidak boleh hanya dilihat sebagai kepentingan industri besar, tetapi juga merupakan kepentingan jutaan petani kecil yang selaras dengan agenda global SDGs (Sustainable Development Coals).

Maka dari itu, pemerintah bersama para pemangku kepentingan kelapa sawit terus berupaya menunjukkan bahwa kelapa sawit Indonesia adalah produk yang aman untuk kesehatan.

Komoditas ini bukan merupakan penyebab kerusakan hutan tropis atau deforestasi, bukan penyebab penurunan keanekaragaman hayati, bukan penyebab kebakaran hutan dan lahan, serta bukan sumber potensi peningkatan emisi CO2 yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.

“Komoditi andalan ini berperan bagi penghasilan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, hingga penggerak pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah dengan dampak multiplier effect,” katanya.

Berdasarkan data pemerintah menunjukkan, kelapa sawit menyumbangkan devisa terbesar US$23 miliar bagi Indonesia pada 2017. Kelapa sawit juga berperan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 3,47%.

Tak hanya itu, sekitar 16 juta tenaga kerja hidup dari sektor perkebunan kelapa sawit, ditambah juga dengan menghidupkan industri-industri lain.

Kelapa sawit pun berperan terhadap penurunan kemiskinan di 190 kabupaten, berdampak pada penurunan agregat sekitar 6 juta angka kemiskinan di perdesaan pada periode 2005-2016.

 

Sumber: Bisnis Indonesia