Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menelisik kemitraan antara korporasi sawit dan kelompok masyarakat pengelola perkebunan inti dan plasma. Lembaga itu menemukan indikasi praktik persaingan usaha tidak sehat dalam program tersebut berupa dominasi perusahaan terhadap mitra mereka.

Komisioner KPPU, Guntur Syahputra Saragih, mengatakan timnya sedang meminta data pengelolaan perkebunan plasma kepada Kementerian Pertanian. Data itu nantinya diverifikasi ke Kementerian Koperasi dan UMKM. “Untuk dicek apakah plasma benar dikelola oleh masyarakat,” kata dia di kantornya, di Jakarta, kemarin.

Guntur mengatakan data tersebut akan menjadi landasan memeriksa indikasi persaingan usaha tak sehat antara korporasi dan kelompok tani. Jika indikasi itu terbukti, KPPU akan memberikan peringatan tiga kali sebelum menjatuhkan sanksi berupa pencabutan izin. Dia menjelaskan, sesuai dengan ketentuan, perusahaan perkebunan sawit wajib menyisihkan 20 persen lahan mereka untuk dikelola kelompok masyarakat. Kemitraan ini, antara lain, diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM); Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang UMKM; serta Pasal 40 huruf k Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.

Mengutip data Kementerian Pertanian, Guntur menyebut luas perkebunan swasta saat ini mencapai 7,7 juta hektare. Idealnya ada 1,54 juta hektare perkebunan plasma. Namun luas yang ada baru 617 ribu hektare. KPPU, kata dia, akan mencari tahu mengapa kepatuhan perusahaan minim.

Kepala Seksi Pembinaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan Kementerian Pertanian, Prasetyo Jati, menyatakan sejauh ini data yang ada tidak sampai merinci kemitraan inti dan plasma. Sebab, data pengelola plasma dipegang oleh penerbit izin usaha perkebunan (IUP)-90 persen di antaranya diterbitkan bupati. Namun dia memastikan menyiapkan data sesuai dengan kebutuhan KPPU.

Ahli Konstitusi Agraria Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan, menyatakan banyak praktik dominasi perusahaan terhadap petard sawit dalam kemitraan, salah satunya terkait dengan penentuan harga tandan buah segar. “Ada kebingungan penentuan harga tersebut,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia, Kanya Lakshmi Sidarta, mengakui adanya perusahaan yang belum mengalokasikan 20 persen lahan kepada rakyat. Salah satunya karena perusahaan kesulitan mencari lahan. “Ada juga masyarakat yang tidak mau bermitra menanam sawit,”kata dia.

Namun dia menyangkal perusahaan berupaya melakukan praktik persaingan usaha yang tak sehat terhadap kelompok tani. Dalam konteks harga tandan buah segar, misalnya, Lakshmi menyatakan perusahaan tak bisa mengaturnya. “Jangan dibilang kami menguasai harga. Harga sudah diatur pasar,” ujarnya.

Sumber: Koran Tempo