JAKARTA-Asosiasi Petanikelapa sawit Indonesia (Apkasindo) memberikan dukungan kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan RUU Cipta Kerja dalam rangka mempaduserasikan regulasi pertanahan dan kehutanan. Hal itu mengingat persoalan legalitas lahan merupakan tantangan bagi perkebunan sawit rakyat dalam beberapa tahun terakhir.

Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, masalah legalitas lahan disebabkan empat tipe konflik tenurial yakni perkebunan sawit rakyat dimasukkan ke dalam kawasan hutan, lahan petani berada dalam kesatuan hidrologis gambut (KHG) fungsi lindung, lahan petani masuk peta indikatif penundaan izin baru, dan moratorium kelapa sawit. Solusi atas persoalan tenurial yaitu membuat desk petani sawit di Kementerian ATR/BPN, sosialisasi kepada seluruh kantor BPN provinsi/kabupaten, yang mana Apkasindo berpartisipasi dalam pemetaan dan pengukuran lahan petani, pemberian sertifikat gratis untuk lahan pekebun sawit, dan proses balik nama kolektif.

Apabila persoalan tenurial tidak dijalankan, petani akan kesulitan mengikuti Perpres No 44 Tahun 2020 yang mewajibkan setiap pekebun sawit untuk memiliki sertifikat ISPO dalam lima tahun mendatang. Sertifikat ISPO mempersyaratkan petani mempunyai surat hak milik (SHM) atas lahan perkebunan kelapa sawit, di lapangan,
masih banyak petani yang baru memperoleh SKT/ SKGR (surat keterangan tanah). “Waktu lima tahun untuk pra kondisi ISPO sangat singkat bagi petani. Jangan sampai ada kesan dengan aturan yang ada para petani justru seperti hendak disingkirkan dari sektor industrikelapa sawitdi Tanah Air,” ujarnya dalam diskusi bertema Omnibus Law dan Terobosan Kebijakan Pertanahan di Sektor Sawit yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia.

Gulat berharap Omnibus Law Cipta Kerja ini hendaknya bisa memangkas dan menyelaraskan berbagai aturan yang ada agar para petani dapat mengurus status legal lahan mereka dengan mudah, tidak berbeli-belit, serta tidak mengeluarkan biaya pengurusan yang tinggi.

Akademisi dari Universitas Prasetya Mulya Rio Christiawan mengakui Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya pada klaster pertanahan merupakan peluang bagi industrikelapa sawityang merupakan penyumbang devisa terbesar RI. Pelaku usaha mendapat kepastian hukum dalam bentuk sertifikasi, di sisi lain, banyak perkebunan sawityang sudah beroperasi lama dan mengantongi hak guna usaha (HGU) tetapi saat diperpanjang ternya-ta masuk kawasan hutan. “Jadi konflik antar peraturan perundangan yang mengakibatkan tumpang tindih yang menghambat investasi dan pembangunan sejatinya bersumber pada konflik kewenangan,” katanya.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia