BOGOR —  Peneliti dari Departemen  Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Faperta  IPB), Dr Ir Suwardi, M.Agr memaparkan,  tanah suboptimal seperti tanah gambut dan tanah sulfat masam di Indonesia masih tersedia untuk ditanami kelapa sawit.

Tanah-tanah tersebut sebenarnya sulit ditanami dengan tanaman pertanian lain, tetapi ada tanaman yang bisa tumbuh dengan baik yaitu kelapa sawit dan akasia. “Pemanfaatan lahan tersebut pun telah diteliti sebelumnya dan mampu menopang pertumbuhan sawit sehingga menjadi lahan produktif dengan teknik khusus,” kata Dr Suwardi dalam rilis IPB yang diterima Republika.co.id, Sabtu (2/12).

Suwardi menambahkan, terdapat lima teknik yang dapat dilakukan untuk membenahi tanah gambut dan tanah sulfat masam, agar bisa ditanami sawit. Bagi tanah gambut,  pembenahan tanah dilakukan secara fisik, manajemen air, pemupukan, dan pemilihan varietas.

“Untuk tanah sulfat masam bisa menggunakan pemupukan dan penambahan bahan organik atau ekstrak bahan organik yaitu asam humat,” papar  Suwardi.

Suwardi menjelaskan, tanah gambut dan tanah sulfat masam di Indonesia masih banyak yang dapat diproduktifkan dengan penanaman kelapa sawit. Ini merupakan hal yang strategis. Sebab, kelapa sawit mampu memberi sumbangsih terhadap sumber pemasukan negara lewat ekspor crude palm oil (CPO).

“Indonesia mampu menghasilkan empat ton CPO per hektar per tahun. Angka tersebut jauh melebihi produksi minyak nabati komoditas lainnya seperti kedelai atau rapeseed,” tuturnya.

Ia lalu menguraikan teknik menanami lahan gambut dengan kelapa sawit. Pertama, terhadap tanah gambut itu dilakukan pemadatan menggunakan alat berat. Hal tersebut dilakukan untuk menyiapkan tanah gambut yang relatif lunak menjadi padat dan kuat menopang pokok kelapa sawit.

Teknik kedua masih adalah pengaturan air, pembuatan dan pengelolaan parit perkebunan. Tinggi air tidak boleh menyebabkan tanaman tergenang atau kekurangan air. Caranya adalah dengan mempertahankan ketinggian muka air antara 60-80 cm. Hal itu  mengingat karakter tanah gambut sulit menahan air.

Kemudian teknik pemupukan dilakukan dengan penambahan pupuk makro dan mikro yang cukup karena tanah gambut bersifat miskin unsur hara. “Terakhir tekniknya menggunakan varietas dengan batang tanaman lebih pendek agar tanah gambut lebih mampu menopang pokok pohon agar tidak miring,” ujarnya.

Sementara itu bagi tanah sulfat masam dilakukan dengan penambahan pupuk makro dan mikro yang bersifat lepas lambat. Pupuk tersebut, kata Suwardi,  digunakan untuk mengantisipasi sifat tanah masam yang miskin hara dan sulit menahan unsur hara. Pupuk lepas lambat akan mengurangi pencucian kandungan hara oleh air hujan.

Selain teknik tadi dapat juga dilakukan penambahan asam humat pada tanah masam, senyawa tersebut dapat menstimulasi pertumbuhan kelapa sawit.

Namun adanya inovasi  tersebut belum banyak diterapkan oleh pelaku usaha kelapa sawit di tanah gambut dan tanah sulfat masam. “Rata-rata diterapkan hanya perusahaan perkebunan kelapa sawit besar. Petani sawit belum memanfaatkan teknik ini karena modal yang dibutuhkan cukup besar,” ujarnya.

Saat ini produksi sawit petani di tanah gambut dan tanah sulfat masam masih rendah. “Sebenarnya ada satu alternatif bagi petani yaitu dengan menjadi petani plasma pada perusahaan besar yang telah ada di sekitarnya untuk meringankan modal dan memperoleh teknologi,” tuturnya.

Suwardi mengemukakan,  teknik ini diharapkan dapat menjadi sebuah cara melestarikan alam dan memanfaatkan bagian lahan tidak produktif di Indonesia untuk menunjang kemandirian energi. “CPO bisa menjadi sumber energi terbarukan yang dibutuhkan masyarakat di samping energi fosil yang telah ada saat ini,” ujarnya.

 

Sumber: Republika.co.id