InfoSAWIT, JAKARTA – Pergerakan harga minyak sawit selama periode 2020 tercatat sangat anomali, lantaran pada awal tahun 2020 harga bergerak menurun, namun tidak berapa lama harga kembali naik semenjak pertengahan tahun. Perbedaan peningakatan harga tercatat cukup signifikan.
Jelas anomali ini telah memberikan dampak yang beragam bagi pelaku perkebunan kelapa sawit. Bagi pelaku hulu peningkatan harga ini menjadi modal untuk menutupi ongkos biaya dikala harga minyak sawit melorot.
Lantas bagi pelaku dari kelompok petani, kenaikan harga ini pun menjadi berkah lantaran setelah 2 tahun mengalami pelemahan harga, kini para petani mulai bisa menikmati keuntungan dari berkebun kelapa sawit. Padahal sebelumnya, sebagian petani bahkan telah berpikir untuk mengkonversi perkebunannya ke komoditas lain.
Namun demikian berbeda dengan sektor hilir, dengan meningginya harga minyak sawit justru memberikan dampak yang kurang baik, lantaran harga bahan baku menjadi lebih tinggi sehingga mempengaruhi harga jual.
Kendati dari berbagai laporan, serapan sektor hilir dari oleokimia meningkat pesat tetap saja dengan harga CPO yang terlalu tinggi berdampak pada harga jual. Demikian pula, program mandatori biodiesel, yang tahun ini masih ditetapkan menjadi penerapan untuk mandatori B30.
Harapannya program tersebut bakal menyerap biodiesel sekitar 9,6 Kiloliter namun terealisasi baru mencapai 7,2 juta kiloliter. Munculnya pandemi Covid-19 dan kejatuhan harga minyak mentah dunia, menjadi musabab serapan biodiesel menjadi tidak maksimal.
Bahkan, program ini terancam mandeg lantaran disparitas harga yang cukup dalam antara harga biodiesel dengan harga minyak solar berbasis fosil, akibatnya dana insentif untuk program mandatori yang disediakan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) jauh dari kata cukup.
Sebab itu pada awal Desember 2020, Pemerintah Indonesia sepakat untuk mengubah tarif layanan pungutan BPDP-KS, dengan harapan dana yang terkumpul bisa memenuhi kebutuhan insentif biodiesel, termasuk pengembangan program lainnya.
Alasan pemerintah merubah kebijakan tersebut melihat tren harga minyak sawit yang terus positif, sekaligus untuk tetap menerapkan kebijakan biodiesel, berharap harga minyak sawit tetap bisa terjaga dengan baik.
Namun, pelaku hulu beranggapan lain. Akibat pungutan BPDP-KS dan Bea Keluar (BK) CPO yang masih berjalan justru ditengarai akan menggerus daya saing industri hulu minyak sawit. Sebab itu muncul gagasan untuk meniadakan BK, toh keduanya memliki tujuan yang sama yakni untuk mendukung industri hilir sawit nasional.
Lantas bagaimana sejatinya dampak dari kebijakan ini bagi kedua sektor kelapa sawit di Indonesia? Nah, untuk mengetahui lebih jauh pembaca budiman bisa melihatnya dalam Rubrik Fokus kami pada Edisi Desember 2020. Selain tema tersebut kami juga membahas tema lainnya yang tidak kalah menarik, misalnya mengenai kelanjutan kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) setalah terbitnya Permentan ISPO sebagai regulasi teknis dalam implementasi ISPO.
Termasuk juga membahas mengenai penyelenggaraan “Hari Sawit Nasional”, yang menjadi momentum bagi industri kelapa sawit melakukan evaluasi, guna memajukan sektor sawit di masa yang akan mendatang. Terlebih sawit telah diakui sebagai salah satu komoditas yang telah benyak berkontribusi terhadap perekonomian bangsa. (T2)
Sumber: Infosawit.com