Industri sawit nasional sepertinya tak lepas dari tantangan dan tekanan yang bertubi-tubi. Persoalan terbaru adalah rencana Uni Eropa untuk memberlakukan bea masuk antisubsidi terhadap produk biodiesel asal Indonesia.

Asosiasi negara-negara Benua Biru itu menuding Indonesia telah menerapkan praktik subsidi untuk produk bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) tersebut.

Dalam surat notifikasi tertanggal Selasa (23/7), Komisi Eropa telah memutuskan untuk memberikan bea masuk antisubsidi terhadap biodiesel Indonesia sesuai dengan Regulasi UE 2016/1037.

Beleid tersebut mengatur soal kebijakan proteksi pasar oleh otoritas Uni Eropa terhadap serbuan produk impor bersubsidi dari negara selain anggota blok bermata uang tunggal itu.

Kebijakan bea masuk antisubsidi terhadap produk biodiesel asal Indonesia akan diberlakukan secara provisional atau sementara per 6 September 2019, dan ditetapkan secara definitif per 4 Januari 2020 dengan masa berlaku selama 5 tahun.

Sikap Uni Eropa-salah satu negara tujuan utama ekspor-merupakan rangkaian kebijakan kerasnya yang
dapat diartikan sebagai wujud dari diskriminasi dan hambatan perdagangan internasional. Hubungan yang panas ini bahkan telah berlangsung sejak 7 tahun terakhir.

Sebelum biodiesel, produk sawit kita juga terhambat di Uni Eropa melalui dokumen Delegated Actrenewable energyDirective (RED) II yang diterbitkan pada tahun ini. Kendati belum resmi diberlakukan, kebijakan itu telah menciptakan sentimen negatif CPO di Benua Biru.

Produk sawit Indonesia memang sedang menghadapi dunia yang tak ramah. Tak hanya Uni Eropa, negara tujuan utama lain seperti India juga menerapkan restriksi dengan menaikkan tarif bea masuk minyak sawit sampai pada batas maksimum.

Komoditas asal Indonesia tersebut kalah bersaing dengan produk serupa dari Malaysia. Pasar India yang selama ini dikuasai oleh Indonesia, perlahan mulai direbut oleh Malaysia.

Negara tetangga kita itu memanfaatkan perjanjian dagang Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA) dengan India sehingga produk olahan CPO negara tersebut mendapatkan bea masuk yang lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia.

Bea masuk produk olahan CPO Malaysia mulai awal tahun ini, atau sejak diberlakukannya CECA turun menjadi 45% dari tarif sebelumnya yakni 54%. Sementara itu, produk olahan CPO Indonesia masih dikenai tarif impor 54% lantaran belum ada perjanjian dagang bilateral khusus antara RI dengan India.

Tentu saja kebijakan beberapa negara yang memberlakukan pengetatan impor melalui regulasinya membuat kinerja ekspor komoditas tersebut tertatih-tatih baik dari sisi nilai maupun volume pada Januari-Mei 2019.

Hal itu tecermin dari kinerja ekspor CPO dan produk turunannya pada April 2019 yang volumenya menurun 37% menjadi 315.240 ton dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Tren negatif itu berlanjut pada Mei. Pada periode tersebut, volume ekspor CPO kembali melorot 4% secara bulanan menjadi 302.160 ton.

Tentu semua cerita pilu tersebut tak boleh membuat kita hanya bisa berdiam diri. Khusus untuk Uni Eropa, cara-cara yang dilakukan itu tidak fair dan tidak saja merugikan Indonesia sebagai eksportir CPO dan produk turunannya, tetapi juga mencederai asas dan prinsip dasar perdagangan bebas berkeadilan yang dibangun melalui WTO.

Untuk itu, harian ini kembali berharap pemerintah Indonesia untuk tidak boleh terus berdiam diri dan mengalah. Harus ada upaya konkret untuk melindungi produk ekspor andalan kita. Bila perlu membawa Uni Eropa ke Dispute Settlement Body WTO.

Selain \’bertempur\’ di WTO, kita berharap pemerintah Indonesia dan pengusaha CPO Indonesia juga harus berupaya menggencarkan kampanye positif komoditas itu di kawasan Eropa, untuk meminimalkan makin anjloknya permintaan dari blok negara Eropa itu.

Tak hanya itu, harian ini juga ingin mengingatkan bahwa upaya paling realistis yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi anjoknya harga CPO global dan hambatan dagang negara mitra adalah peningkatan konsumsi dalam negeri.

Percepatan pelaksanaan program B30 dan rencana penggunaan minyak sawit untuk campuran bahan bakar pembangkit listrik PLN, bisa menjadi cara lain yang lebih efektif sebagai wujud peningkatan konsumsi dalam negeri.

Sekali lagi, kita tentu tak ingin melihat industr isawit dalam negeri yang telah berupaya meningkatkan citranya dalam pengelolaan hutan dan proses produksi semakin layu dilibas restriksi dagang negara lain.

 

Sumber: Bisnis Indonesia