Pelaku usaha mendesak pemerintah menambah dukungan koneksi logistik demi memperkuat sinergi hulu-hilir industri kelapa sawit. Kedekatan akses antara kebun, pabrik, dan pelabuhan menjadi kunci untuk mendongkrak daya saing komoditas ini.

Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Lakshmi menyatakan selama ini pemusatan pelabuhan utama sawit hanya berada di wilayah Dumai dan Belawan. Padahal, tambahnya, kalau melihat karakter dari industri sawit, pabrikan seharusnya berdekatan dengan lokasi kebun. Dengan demikian, pengembangan kawasan industri sawit sebaiknya berada di lokasi sentra produsen.

Keduanya juga harus terkoneksi satu sama lain dengan jalur logistik, khususnya akses jalan dari pabrik Kelapa Sawit hingga ke pelabuhan.

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati (GMNI) Sahat Sinaga mengatakan pemerintah harus mendekatkan pelabuhan ke pabrik. Pasalnya, menurutnya, pendirian lokasi pabrik akan menyesuaikan lokasi pelabuhan dan bukan sebaliknya.

Sahat mengusulkan adanya tiga pelabuhan baru. Pertama, pelabuhan ekspor untuk tujuan India, Eropa, dan Afrika Timur di Meulaboh, Aceh. Sahat menilai lokasi tersebut akan membuat daya saing produk hilir CPO nasional lebih tinggi dari Malaysia di pasar-pasar tersebut.

Kedua, Pelabuhan Maloy, Kalimantan Timur untuk pasar China, Myanmar, dan Asia Timur. Adapun, pemerintah juga harus menambah pelabuhan antara di Pontianak, Pangkalan Bun, atau Banjarmasin, agar pabrik CPO di Kalimantan dapat langsung memasok kebutuhan di pasar domestik.

Ketiga, Pelabuhan Laut Biak, Papua, untuk pasar Amerika Serikat. Sahat berujar pembangunan pabrik di sana akan meringankan beban logistik pabrikan CPO dan turunannya di Papua. Pasalnya, pabrikan CPO dan turunannya di Papua juga harus mengirimkan pasokan ke Dumai untuk keperluan ekspor.

Sahat menghitung pembangunan pelabuhan-pelabuhan tersebut akan meningkatkan daya saing CPO dan turunannya sekitar US$15-US$20 per ton. Di sisi lain, pabrikan hilir eksisting pun diyakini akan eksodus ke lokasi tersebut jika pelabuhan-pelabuhan itu dibangun.

Adapun, Sahat meramalkan produksi CPO dan turunannya pada tahun ini naik sekitar 2% menjadi sekitar 52 juta ton.

Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Minyak Makan (AMMI) Adi Wisoko menyampaikan perlu inovasi bongkar-muat di pelabuhan-pelabuhan lokal agar pabrikan dapat menghemat biaya logistik. “Bagi [pabrik] yang punya pelabuhan sendiri, ada [kemudahan] bongkar-muat, tapi kebanyakan tidak punya,” katanya kepada Bisnis.

Ketua Asosiasi Produsen Oleochemichal (Apolin) Rapolo Hutabarat mengungkapkan hal senada. “Kami selalu minta dekat dengan pelabuhan karena semua hasil produksi akan dikapalkan, baik untuk domestik maupun ekspor,” katanya kepada Bisnis, Minggu (1/3).

Rapolo mengemukakan saat ini penting melakukan pemetaan untuk kawasan industri (KI) atau kawasan ekonomi khusus (KEK) agar dekat dengan pelabuhan. Dia pun mencontohkan keberadaan KEK Sei Mangkei yang jauh dari Pelabuhan Kuala Tanjung belum memberi solusi bagi industri.

Padahal, Kuala Tanjung digadang menjadi hub internasional. Untuk itu, Rapolo mengatakan, saat ini diharapkan Blok Masela yang akan dibuka di Indonesia Timur dibangun dengan perencanaan yang matang.

Terpisah, Kepala Subdirektorat Industri Hasil Perkebunan Nonpangan Kementerian Perindustrian (Kemen-perin) Iila Harsyah Bakhtiar mengatakan pemerintah telah merumuskan pengembangan integrasi hulu-hilir di sektor sawit.

Dalam PP Nomor 14/2015 tentang rencana induk pembangunan industri nasional 2015-2035, pemerintah memastikan akan menjamin ketersediaan bahan baku dengan menerapkan sistem rantai pasok yang efisien.

Pemerintah juga berjanji mengembangkan kawasan terintegrasi didukung infrastruktur yang memadai. M

Perkebunan Kelapa Sawit tersebar di berbagai pulau yang ada di Indonesia, namun pabrik pengolahan buah sawit (PKS) lebih banyak bertumpuk di wilayah Sumatra. Adapun, komposisi terbesar industri sawit berada di fase midstream (refinery). Minyak sawit merupakan bahan baku bagi banyak produk, antara lain biodiesel dan oleokimia.

 

Sumber: Bisnis Indonesia