JAKARTA – Pemerintah Malaysia, Indonesia, dan Thailand menyiapkan respons keras atas perilaku diskriminatif Uni Eropa terhadap industri minyak sawit. Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Datuk Seri Mah Siew Keong mengatakan reaksi balasan akan dilakukan jika isu mengenai minyak sawit sudah masuk ke ranah legislatif dan menjadi regulasi.

“Jika kampanye kebencian dan kebijakan diskriminatif terhadap minyak sawit terus berlanjut, kami juga bisa membalas. Ingat, Malaysia, Indonesia, dan Thailand secara kolektif merupakan pembeli besar produk Uni Eropa,” kata Mah, seperti dikutip New Straits Times, kemarin.

Pada 4 April 2017, Parlemen Uni Eropa membuat sebuah resolusi untuk memperkenalkan skema sertifikasi minyak sawit yang boleh masuk ke kawasan itu. Uni Eropa juga akan menghapus penggunaan biodiesel berbasis minyak sawit pada akhir 2020. Pernyataan tersebut didukung Komite Industri, Riset, dan Energi Uni Eropa serta Komite Lingkungan Parlemenpada Oktober dan November 2017.

Melihat tindakan tersebut, Mah menilai politik perdagangan Uni Eropa mirip dengan politik apartheid di Afrika Selatan yang sarat muatan rasisme. Mah menyebutkan Parlemen Uni Eropa telah membangun hambatan perdagangan dan berisiko melanggar komitmen yang disepakati sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kebijakan diskriminatif ini pun, menurut Mah, bakal mengancam kelanjutan perundingan Perjanjian Perdagangan Bebas Malaysia-Uni Eropa.”Kami berharap Uni Eropa menghentikan diskriminasi terhadap industri kelapa sawit global,” ujarnya.

Pada November tahun lalu. Presiden Joko Widodo juga meminta Uni Eropa menghentikan diskriminasi terhadap kelapa sawit. Ia menilai kampanye hitam terhadap komoditas tersebut merugikan, baik secara ekonomi maupun citra negara penghasil sawit. “Resolusi Parlemen Uni Eropa dan sejumlah negara Eropa mengenai kelapa sawit dan deforestasi serta berbagai kampanye hitam tidak hanya merugikan kepentingan ekonomi, tapi juga merusak citra negara produsen sawit,” ujar Jokowi seperti dikutip dari keterangan pers Sekretariat Presiden.

Menurut Jokowi, isu kelapa sawit sangat dekat dengan upaya penghapusan kemiskinan, mempersempit kesenjangan pembangunan, serta pembangunan ekonomi yang inklusif. Apalagi saat ini terdapat 17 juta warga Indonesia yang hidupnya, baik langsung maupun tidak, terkait dengan kelapa sawit. Jokowi juga menyebutkan 42 persen lahan perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil.

 

Sumber: Koran Tempo