JAKARTA – Produsen minyak goreng sawit menolak kewajiban penambahan (fortifikasi) vitamin A Alasannya, mandatori fortifikasi itu hanya akan menimbulkan pemborosan devisa mengingat vitamin A sin tesis masih harus diimpor dari luar negeri. Di sisi lain, kebijakan itu juga akan menimbulkan risiko hukum bagi perusahaan apabila ternyata batas kandungan vitamin A dalam produk minyak goreng tidak terpenuhi.

Saat ini, Kementerian Perindustrian sedang menyusun revisi Peraturan Menteri Perindustrian No 87 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan SNI 7709 2012 Minyak Goreng sawi tdan Terkait Penambahan Fortifikasi Vitamin A Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menegaskan, penolakan terhadap mandatori fortifikasi vitamin A pada minyak goreng dilakukan karena adanya pertimbangan bahwa vitamin A sintetis harus diimpor dari perusahaan di negara Iain. “Apabila fortifikasi vitamin A pada minyak goreng menjadi wajib maka Indonesia akan bergantung kepada impor vitamin A sintetis. Setiap tahun, kita akan membuang devisa ratusan juta dolar ke luar negeri,” kata Sahat

Persoalan lain adalah efektivitas fortifikasi vitamin A pada minyak goreng sawit, mengingat ada rentang waktu pengiriman minyak dari pabrik sampai ke masyarakat Isu ini terkait dengan stabilitas vitamin A mulai dari pabrik sampai ke retailer dan retensi vitamin A pada saat penggorengan. Tidak ada jaminan berapa kadar kandungan vitamin A sampai di tangan konsumen. Apabila di bawah ambang batas, kami (produsen) bisa dituntut” ucap Sahat di Jakarta, kemarin. Produsen juga khawatir dengan adanya kata penambahan vitamin A, apabila tidak ditambahkan vitamin A (meskipun mengandung fortifikan alamiah beta-karoten yang setara dengan aktivitas vitamin A 45 IU/g). Alhasil, tanpa ditambahkan vitamin A maka minyak goreng sawit tidak dapat digolongkan sebagai minyak goreng sesuai SNI meskipun berasal minyak sawit.

Menyikapi persoalan fortifikasi vitamin A minyak goreng sawit Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) telah mengirimkan surat kepada Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian pada 13 Juli 2018. Direktur Eksekutif Paspi Tungkot Sipayung menyebutkan bahwa aturan fortifikasi tidak berdasarkan kepada perintah perundang-undangan melainkan sebatas permintaan menteri kesehatan melalui surat kepada Kementerian Perindustrian pada 2012 lalu.

Penambahan vitamin A sintetis berpeluang menciptakan monopoli, karena pemasok vitamin A ini terbatas kepada dua negara saja. Menurut Tungkot, tidak menutup kemungkinan produsen vitamin” A bisa mengendalikan industri minyak goreng sawit di dalam negeri. Itu sebabnya, fortifikasi berpotensi melanggar UU No 5 Tahun 1999 mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Tungkot menambahkan, fortifikasi merupakan bagian dari SNI minyak goreng sawit. Paspi mendukung SNI minyak goreng sawit yang masih dalam proses penyusunan Peraturan Menteri Perindustrian yang baru, namun untuk fortifikasi sebaiknya sukarela. “Yang dikhawatirkan ada kekuatan besar ingin kewajiban fortifikasi vitamin A dipertahankan dalam SNI. Kami sayangkan menteri perindustrian tersandera, begitu pula dengan SNI minyak goreng sawit belum diterbitkan. Ada kekuatan besar di balik ini semua, karena nilai bisnis bisa triliunan rupiah per tahun,” kata dia.

Kalangan produsen sawit, kata Sahat, juga meminta pengecualian untuk kebijakan fortifikasi vitamin A Aturan fortifikasi sebaiknya sukarela bukan mandatori. “Kita belum tahu seberapa efektif fortifikasi. Yang pasti penambahan vitamin A membuat devisa negara tersedot ke luar negeri,” kata Sahat. Sedangkan untuk upaya mengatasi defisiensi vitamin A termasuk stunting anak balita di Indonesia, kata Tungkot, dapat diatasi dengan dua cara. Pertama, pemberian vitamin A langsung kepada balita. Kedua, fortifikasi vitamin A kepada produk makanan/ minuman balita melalui peraturan menteri perindustrian sendiri.

 

 

Sumber: Investor Daily Indonesia