Per September 2018 lalu, pemerintah memberlakukan mandatori perluasan penggunaan bahan bakar solar campuran minyak kelapa sawit 20 persen atau biodiesel 20 persen ( B20) untuk mengurangi impor solar dalam rangka memperbaiki defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) yang membengkak.
Tadinya, penggunaan B20 hanya di didorong BBM subsidi atau public service obligation (PSO) diperluas masuk ke BBM non PSO.
Direktorat Jenderal energi baru terbarukan dan Konservasi Energi menyatakan, berkat program tersebut pemerintah berhasil menghemat anggaran hingga Rp 28,4 triliun, dengan pengguna B20 tercatat mencapai 4,02 juta kilo liter (kl).
“B20-nya sendiri yang jadi konsen kita bisa menyerap 4,02 juta kl, baik karena perluasannya pemanfaatan FAME (produk turunan CPO, Fatty Acid Methyl Ester), tadinya PSO saja, sekarang termasuk non PSO. Tahun ini dengan target lebih besar dari 4,02 juta kl,” jelas Dirjen EBTKE Rida Mulyana ketika memberikan penjelasan kepada awak media di kantornya, Selasa (8/1/2019).
Lebih lanjut Rida menjelaskan, sepanjang 2018 produksi bahan bakar nabati biodiesel mencapai 6 juta kl, meningkat dibandingkat 2017 lalu yang sebesar 3,4 juta kl dan melampaui target yang sebesar 5,7 juta kl.
Walaupun mandatory B20 ini diklaim sukses, namun Rida menjelaskan, terdapat opsi lain campuran solar untuk mesin kendaraan, yaitu greenfuel, yang menurut Rida memiliki kualitas lebih bagus dibanding B20. Freen fuel sendiri merupakan campuran solar dengan Refined Bleached Deodorized palm oil (RBDPO) yang juga turunan dari CPO.
“Green fuel lebih stabil, B20 didiamkan seminggu saja pisah (kandungannya).Jadi banyak yang menyarankan ke kami berhenti di B20,” ujar Rida menjelaskan.
Sumber: Kompas.com