JAKARTA Langkah pemerintah mengintensifkan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit diharapkan mampu menyelesaikan masalah legalitas lahan sekaligus menjadi senjata untuk melawan kampanye negatif di pasar global.

Sebagaimana diketahui, dalam beberapa tahun terakhir produk sawit Indonesia kerap dituding sebagai penyebab deforestasi dan mendapat penolakan dari negara konsumen.

Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengatakan polemik legalitas yang selama ini memperkeruh industri perkebunan kelapa sawit diharapkan dapat lebih jernih melalui evaluasi tersebut.

“Kalau [evaluasi] begitu tidak masalah. Misalnya perizinan kebun ada di dalam kawasan hutan, dengan begitu akan terlihat [kebun dalam kawasan] disebabkan oleh perubahan kebijakan tata ruang atau memang perusahaan tersebut memang di kawasan hutan tetapi sedang mengurus pelepasan kawasan hutan,” katanya kepada Bisnis pada Jum”at (19/10).

Meski demikian, dia mengharapkan pemerintah memberikan kompensasi kepada pengusaha bila kebun berada dalam kawasan hutan akibat perubahan kebijakan atau inkonsistensi pemerintah dalam membentuk rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Kemarin, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyampaikan bahwa Kementeriaanya mencatat setidaknya ada 11 juta hektare lahan berupa perkebunan yang berasal dari hutan, dan 2,3 juta hektare adalah lahan sawit.

“Yang sedang dievaluasi kebun yang di dalam kawasan hutan belum ada izinnya atau masih dievaluasi izinnya. Khusus sawit ada sekitar 2,3 juta hektare,” jelasnya seusai rapat koordinasi moratorium sawit di Kantor Kemenko Perekonomian.

Selanjutnya, pemerintah akan mengidentifikasi lahan tersebut apakah termasuk hutan primer atau tidak. Setelah jelas idenufikasinya, pemerintah akan melakukan tahapan berikutnya. Siti berharap sesuai target moratorium kelapa sawit, dalam 3 tahun seluruh permasalahan perizinan kelapa sawit akan terselesaikan.

Langkah tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa sawit yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018.

Sebagai tahap awal, KLHK melakukan verifikasi data kawasan hutan untuk kebun kelapa sawit, peta izin usaha perkebunan, dan perizinan lainnya. Selama proses evaluasi dan verifikasi berlangsung, Siti menekankan, tidak ada izin baru yang dikeluarkan untuk pembukaan kebun kelapa sawit.

“Yang bagian saya yang kehutanan, Inpres moratorium sawit itu tugasnya adalah bahwa tidak boleh ada izin baru, kedua adalah harus dievaluasi izin yang sudah ada permohonannya, tetapi belum dikeluarkan izinnya,” tuturnya.

STANDAR INTERNASIONAL

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menuturkan baik Inpres moratorium maupun Perpres No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) bertujuan membenahi seluruh perkebunan terutama supaya memenuhi standar di dunia internasional sebagai perkebunan yang berkelanjutan.

Dengan demikian, jadi jelas proses asal usul kelapa sawit yang diproduksi sehingga diharapkan tidak ada lagi komplain atas produk Indonesia. “Itu harus ada laporannya kalau tidak, ya kita jadi bulan-bulanan [internasional] terus saia. Dibilang oh tidak jelas Indonesia malah menebang hutan untuk menanam sawit. Padahal tidak demikian keadaannya. Jadi, semuanya itu kita mau dudukkan termasuk standarnya, ISPO.”

Dengan begitu diharapkan tidak ada lagi tudingan produk sawit Indonesia tidak jelas asal-usulnya.

Hal serupa disampaikan oleh Head of Investor Relations PT Sampoerna Agro Tbk., Michael Kesuma. Menurut dia, kebijakan tersebut dapat mengcounter kampanye negatif soal sawit. “Kami harap dampaknya positif.”

Corporate Secretary PT sawit Sumbermas Sarana Tbk. Swasti Kartuikaningtyas mengatakan dengan adanya kepastian hukum diharapkan proses pengurusan perizinan lahan menjadi lebih jelas. “Area peruntukkan lahan juga jelas statusnya dan tidak tumpang tindih.”

Eddy memprediksi provinsi yang segera dievalusi adalah Kalimantan Tengah dan Riau.

Berdasarkan data yang diperoleh Gapki dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk provinsi Kalimantan Tengah terdapat 349 Perusahaan dengan luas 2 juta hektare yang masuk dalam kawasan. Sementara Riau terdapat 183 perusahaan dengan luas 455.571 hektare. [Lihat tabel)

Eddy mengharapkan pemerintah memberikan jalan keluar berupa pemutihan terhadap kebun sawit milik perusahaan yang masuk ke dalam kawasan akibat perubahan kebijakan.

Industri kelapa sawit telah terbukti sebagai menyumbang devisa terbesar di Indonesia, oleh karena itu dia berharap industrinya dilindungi oleh kebijakan yang memberikan kepastian hukum.

“Masih ada kebijakan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah dalam hal Tata Ruang, demikian juga perlu dilihat dengan jernih kebijakan-kebijakan mana yang justru mengkerdilkan industri sawit sebaiknya direvisi atau dihapus,” katanya.

Ketua Serikat Petani Kelapa sawit Mansuetus Darto mengatakan petani mendukung penyelesaian legalitas dan pendataan petani kelapa sawit yang ada dalam kawan hutan.” Inpres moratorium mendesak untuk dilakukan pendataan.”

Dari sisi petani sawit swadaya, lanjutnya, yang harus diperjelas adalah sanksi apa yang akan menjerat setelah evaluasi selesai dilaksanakan akankah petani dibebaskan atau dipenjara.

Atur Langkah Kelola Lahan

Sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden No.8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, kemarin kementerian terkait melakukan pembahasan salah satunya mengkaji luas lahan yang akan dimoratorium selama tiga tahun. Instruksi yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018 itu bertujuan memberikan kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca, serta untuk peningkatan pembinaan petani kelapasawitdan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat ini ada 11 juta hektare lahan berupa perkebunan yang berasal dari hutan dan 2,3 juta hektare adalah kelapa sawit.

 

Sumber: Bisnis Indonesia