Harga minyak sawit merosot terus hingga mencekik para petani. Pemerintah menilai penurunan ekspor ke Uni Eropa menjadi penyebabnya. Pelaku industri menilai \’semut\’ di seberang lautan terlalu menjadi fokus, sementara \’gajah\’ di pelupuk mata tak tampak. Masalah harga memang tak terlepas dari serapan pasar global. Namun, itu, juga perlu dinilai secara proporsional. Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara, peningkatan serapan di dalam negeri adalah pendongkrak harga minyak sawit.
“Salah satu caranya adalah hilirisasi industri kelapa sawit,” ujar Bhima kepada Bisnis, baru-baru ini. Kelapa sawit adalah penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dan minyak inti sawit mentah [erode palm kernel oil/CPKO) yang digunakan sebagai bahan baku industri oleokimia dan oleopangan. Produk hilir yang umum dikenal adalah sabun, detergen, biodiesel, kosmetik, hingga minyak goreng. Bhima menilai pemerintah perlu memberi insentif spesifik bagi pelaku industri tengah dan hilir Kelapa Sawit untuk menjaga harga kelapa sawit. Apalagi, langkah pemerintah memperpanjang pernurunan Dana Pungutan (DP) Ekspor CPO menjadi RpO hanya sementara.
“Yang paling penting insentif fiskal, tapi harus secara spesifik. Jadi, tidak bisa jorjoran (mengeluarkan) tax holiday dan tax allowance. [Pasalnya] ada [pelaku industri] yang tidak mau mendapatkan tax holiday karena tidak mau laporan keuangannya diaudit,” ujarnya. Menurut Bhima, insentif itu dapat berupa bantuan pembebasan lahan untuk pembangunan pabrik. Sejauh ini, beberapa pelaku industri mengeluhkan proses pembebasan lahan yang berlarut-larut dan aturan yang tumpang tindih antara peraturan tata guna dan tata kawasan industri.
Selain itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga dapat membantu pelaku industri dalam menerapkan pengelolaan limbah berbahaya dan beracun (B3). Di samping itu, insentif dalam bentuk pendampingan dan kemudahan peraturan juga diperlukan. Bhima juga menyarankan para pemangku kepentingan agar mengembangkan penggunaan Kelapa Sawit melalui penelitian dan pengembangan. “Jadi, kalau bisa [meningkatkan penggunaan] B20, atau loncat ke B100, saya kira akan lebih cepat investor yang tertarik.”
Potensi pasar domestik juga disampaikan Lila Harsyah Bakhtiar, Kepala Sub-Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non-Pangan Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian. Dia juga mengingatkan petani sawit agar menjual hasil perkebunan ke industri tengah, bukan ke pasar global. “Pasalnya, harga yang ditawarkan industri tengah Kelapa Sawit akan lebih stabil dibandingkan dengan pasar global,” ujarnya. Selain itu, pihaknya tengah mencoba mengintegrasikan tarif pungutan [levy] dengan bea keluar untuk mengamankan pasokan bahan baku industri oleokimia maupun oleopangan.
Kemenperin berharap usaha pengintegrasian tersebut menemukan titik terang pada bulan- ini. Pihaknya berusaha meningkatkan pasokan bahan baku bagi industri oleokimia dan oleopangan dengan mengembalikan tarif (evy, seperti semangat pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 11/2011 dan PMK No. 136/2015. Keduanya mengatur barang ekspor yang dikenai bea keluar dan tarif bea keluar. “Sehingga pertumbuhan kapasitas terpasang oleokemikal dan oleopangan tumbuh luar biasa besar,” ujarnya.
PENDORONG INDUSTRI
Di sisi lain, Asosiasi Produsen Oleochemichal Indonesia (Apolin) memproyeksikan pertumbuhan volume produksi pada tahun ini berkisar 5%-10% atau maksimum memproduksi hingga 9,9 juta ton. Di sisi lain, volume ekspor diprediksi dapat meningkat 11% atau menembus 3 juta ton dari realisasi tahun lalu di posisi 2,74 juta ton. Secara komposisi, industri oleokimia nasional pada tahun ini dapat memproduksi fatty acid sejumlan 4,55 juta ton, fatty alcohol senilai 2,12 juta ton, glycerin hingga 883.700 ton, methyl ester mencapai 1,93 juta ton, dan soap noddle sebesar 1,83 juta ton.
Ketua Umum Apolin Rapolo Hutabarat menyampaikan bahwa kapasitas terpasang industri oleokimia pada tahun ini mencapai 11,32 juta ton dengan tingkat utilisasi berkisar di level 70%- 80%. Rapolo mengutarakan, pendorong pertumbuhan pada tahun ini datang dari perubahan gaya hidup konsumen yang lebih banyak menggunakan produk-produk modem seperti krimer pada kopi, sabun mandi cair, dan sabun cuci piring cair. Selain itu, pertumbuhan populasi tiap tahunya di kisaran 3%-4% juga membantu peningkatan konsumsi barang-barang berbahan oleokemikal.
Adapun, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, jika green diesel yang menggunakan 30% minyak nabati (B30) lolos uji tes lapangan pada akhir kuartal HI/2019 dan digunakan pada 2020, PT Pertamina akan membutuhkan 9,5 juta ton minyak sawit untuk pembuatan fatty acid methyl ether (FAME) Kelapa Sawit pada tahun depan. Adapun, pengembangan BBN biohid-rokarbon dan bioavtur menciptakan tambahan serapan minyak nabati sebesar 1,2 juta ton.
Sementara itu, proyeksi produksi minyak nabati pada tahun depan adalah 51,5 juta ton dengan komposisi kebutuhan industri hilir lokal sekitar 10 juta ton. Adapun, ekspor pada 2020 diproyeksi 37,8 juta ton. Jika pemanfaatan minyak nabati untuk energi diterapkan, ekspor minyak nabati diproyeksi terkontraksi sekitar 8 juta ton. “Volume ekspor akan short. Makanya, kita tidak perlu sibuk dengan Eropa [yang hanya menyerap] 6,5 juta ton [minyak nabati). Kalau mereka tidak mau [menyerap], kita akan pakai domestik,” ujarnya kepada Bisnis.
Dia optimistis bahwa kebutuhan minyak sawit yang terus meningkat, kebutuhan minyak sawit untuk industri hilir pun diproyeksi akan tumbuh 38,61% menjadi 14 juta ton pada 2025. Bila demikian, maka industri di dalam negeri ada \’gajah\’ yang daya serapnya akan mampu mendongkrak harga minyak sawit. Kini sudah tampak \’gajah di pelupuk mata\’, tinggal digerakkan saja.
Sumber: Bisnis Indonesia