Pemerintah Indonesia berkomitmen membuka dan meningkatkan kerja sama perdagangan dengan negara-negara mitra dagang nontradisional. Salah satunya, dengan sejumlah negara di kawasan Asia Selatan, yaitu Sri Lanka, India, Pakistan, dan Bangladesh.

Koni Yunlanto

Untuk itu, pada awal tahun ini, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berangkat mendampingi Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kenegaraan ke kawasan yang dijuluki Hindia Muka pada 24-28 Januari 2018, guna mendorong pertalian dagang yang lebih luas. Sudah lebih dari 7 bulan sejak kunjungan Jokowi ke Asia Selatan. Lantas, apa tindak lanjut konkret dari pemerintah dan pengusaha Indonesia untuk memperlebar akses pasar ke regional tersebut, setelah “dibukakan” jalannya oleh RI-1?

Langkah awal untuk mencengkeram pangsa pasar ekspor di Asia Selatan dimulai pada Kamis (6/9) melalui Conference and Exhibition on Indonesian palm oil (CEIPO) 2018 yang di-helat oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Karachi di Pakistan.

Saat ditemui Bisnis, Konjen RI di Karachi Totok Prianamto mengatakan, CEIPO mengangkat tema Pakistan-Indonesia Collaboration on Palm Oil-based Industries. Tujuannya untuk memantik diskusi terkait dengan pengembangan kerja sama di bidang industri minyak kelapa sawit antar kedua negara.

Kegiatan tersebut digadang-gadang sanggup memperbanyak pertukaran gagasan soal kemungkinan investasi bersama guna menambah nilai dari komoditas ekspor andalan RI itu.

Perhelatan tersebut terdiri dari kegiatan seminar dan pameran yang diselenggarakan secara bersamaan dalam 1 hari, dengan mengundang berbagai pembicara serta perusahaan di sektor industri minyak kelapa sawit baik dari Indonesia maupun Pakistan.

Sejauh ini, mereka yang berpatisipasi a.l. Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS), Asosiasi Produsen Olechemical Indonesia (Apolin), Apical Pakistan, Waheed Group, Sharjah Cooking Oil, dan Dalda Foods.

“Kami berharap CEIPO 2018 akan menjadi awal dari banyaknya kolaborasi dan kerja sama antara industri minyak kelapa sawit Indonesia dan Pakistan,” tutur Totok.

Sejauh ini, sambungnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Pakistan pun berupaya memfasilitasi kepentingan eksportir atau pengusaha sawit nasional dengan importir Pakistan seiring dengan proses menuju perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FIA) dengan negara tersebut.

Duta Besar RI untuk Pakistan Iwan Suyudhie Amri mengatakan, dengan populasi penduduk hampir 200 juta jiwa, Pakistan menjadi pasar potensial bagi kerja sama perdagangan dengan Indonesia. . Terlebih lagi, katanya, Pakistan adalah importir produksawitterbesar keempat untuk Indonesia.

Namun, tantangan ke depan yang harus dihadapi Indonesia di Pakistan bukan lagi soal akses pasar dalam konteks tarif karena keduanya sudah menjalankan preferential trade agreement (PTA).

Untuk diketahui, Indonesia-Pakistan sudah empat kali me-review PTA dan sepakat meningatkan statusnya menjadi FTA. Rencananya, Kementerian Perdagangan kedua negara akan mempertahankan ke arah status tersebut dalam kerangka kerja yang tengah berproses saat ini.

Iwan menyebut, khusus di sektor perdagangan produk sawit, Kedubes RI bersama Gapki pada tahun lalu telah menginisiasi Indonesia Pakistan Joint palm oil Committee (IP-JPOC). Dalam IP-JPOC, eksportir Indonesia dan importir Pakistan bersama-sama membahas bagaimana menjaga kerja sama yang saling pengertian.

“”Kalau ada sengketa tidak perlu ke pengadilan tetapi bisa saling membahas bersama. Masalah pasti ada meskipun kecil, tetapi dengan ini kita bisa meningkatkan kerja sama pelaku sawit dalam hubungan eksportir dan importir.”

Lebih jauh, dia menegaskan, KBRI dan KJRI terus berupaya melanjutkan promosi produk sawit, karena kondisi Pakistan berbeda dengan pasar Rusia ataupun Eropa.

“Di sini kami lebih banyak melakukan konsultasi dan komunikasi dengan para importir kemudian mendeteksi sedini mungkin setiap hal yang berpotensi merugikan ekspor Indonesia, dengan upaya pencegahan melalui lobi-lobi, dan konsultasi dengan pihak asosiasi pengusaha di Pakistan dan pengusaha Indonesia, termasuk melalui program seminar.”

Dengan komunikasi yang intens, harapannya kerja sama bisa berkesinambungan dari hanya sebatas perdagangan ke investasi pengolahan dan produk turunan minyak sawit.

Ini karena posisi Pakistan yang strategis sebagai gerbang ke pasar Asia Tengah yang mencakup 6 negara serta ke Timur Tengah, dan juga menjadi hub ke China dari pelabuhan Gwadar yang memiliki akses langsung ke Xinjiang.

“Jadi kalau ada investor RI yang membangun pengolahan dan derivatif sawitdi Pakistan, diharapkan ekspor RI makin bisa berkembang.”

Terlepas dari krisis dan kondisi ekonomi Pakistan yang belum pernah tumbuh, Iwan masih meyakini ada peluang di Pakistan, seiring dengan optimisme ahli ekonomi dunia yang memprediksi Pakistan akan tumbuh menjadi negara dengan ekonomi di posisi 16 besar dunia pada 2030.

Sekadar catatan, total perdagangan RI dan Pakistan dalam 4 tahun terakhir menyentuh US$2,6 miliar dan RI surplus US$2,1 miliar dan bahkan sudah hampir US$2,2 miliar.

Saat ini, RI sedang dalam proses meratifikasi penurunan tarif 20 item tambahan untuk produk tekstil dan buah-buahan Pakistan.

“Sebanyak 20 item tambahan tersebut masih dalam proses memenuhi ketentuan nasional masing-masing. Untuk itu kita juga harus sensitif dengan concem mereka.”

SERIUS MENCERMATI

Di lain pihak, pelaku usaha sawit RI akan serius mencermati perkembangan di Pakistan seiring dengan meningkatnya hubungan dagang dan peluang negara di Asia Selatan itu sebagai hub untuk menembus pangsa pasar yang lebih luas.

Ketua Umum Gapki Joko Supriono mengatakan, undangan investasi di sektor pengolahan sawit  akan berproses mengingat hubungan dagang antara pengusaha dari kedua negara sudah berlangsung cukup lama.

Menurutnya, pengusaha juga akan mencermati situasi investasi di Pakistan terutama setelah negara itu memiliki pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Imran Khan.

“Pakistan terkesan memberi harapan yang lebih baik ke depan, jika keamanan dan politik stabil, maka ekonomi akan mengikuti,” ujar Joko.

Menurutnya, harapan itu ada, dengan mempertimbangkan pasar penduduk Pakistan yang besar, sedangkan konsumsi per kapita mereka masih rendah.

Pangsa pasar produk sawit RI yang sebesar 80% di Pakistan, kata Joko, bisa ditingkatkan lebih hesar dari produk pesaing seperti minyak kedelai dan nabati lainnya.

Setidaknya, RI harus dapat mempertahankan pangsa karena produk sawit RI pernah punya pengalaman ada di posisi menguasai pangsa pasar 20%, sedangkan produk pesaing menguasai 80% pada periode 2010-2012 di negara itu.

Kondisi itu kemudian berbalik. “Untuk itulah maka kita perlu upgrade PTA ke FTA. Kita harus serius dalam memperkuat hubungan bilateral,” tegasnya.

Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang menambahkan, Pakistan adalah pasar ekspor minyak sawit Indonesia terbesar keempat setelah India, Uni Eropa, dan China.

Dari total nilai ekspor sawit Indonesia yang mencapai US$22,9 miliar pada 2017, Pakistan menyumbang sekitar US$2 miliar atau hampir 10%.

“Pada dasarnya tujuan utama misi dagang dan diplomasi ke Pakistan ini adalah untuk meningkatkan volume ekspor Indonesia ke Pakistan. Termasuk di dalamnya tentu saja ekspor minyak sawit,” kata Togar.

Sekadar catata, ekspor minyak sawit Inodnesia sedang menorehkan tren cukup menyenangkan saat ini, Tren positif berupa kenaikan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada Juli 2018, diperkirakan akan terus berlanjut di masa depan.

Analis Produksi Kelapa sawit Cofco International Roby Fauzan memperkirakan, kondisi pasar CPO global diperkirakan terus membaik.

“Masih akan terus tumbuh ekspornya. Namun, untuk menyedot stok dalam negeri diperkirakan belum akan terlalu signifikan, sebab produksi domestik masih tetap tinggi setidaknya hingga Oktober,” ujarnya.

Berdasarkan data Gapki, produksi kelapa sawit pada Juli 2018 mencapai level tertingginya sejak 2015 dengan mencapai 4,28 juta ton.

Lebih lanjut, Roby memperkirakan tren harga CPO global masih belum akan mengalami kenaikan signifikan, kecuali permintaan minyak kelapa sawit di dunia melonjak sehingga mampu mengurangi kelebihan stok di Indonesia dan Malaysia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menyebutkan, volume ekspor minyak sawit Indonesia (CPO, PKO dan turunannya), oleochemical dan biodiesel membukukan rekor tertinggi sepanjang sejarah dengan menembus 3,22 juta ton. Capaian itu naik 27% dibandingkan dengan ekspor Juli 2017 yang mencapai 2,54 juta ton.

 

 

Sumber: Bisnis Indonesia