Badan Pusat Statistik telah melansir data pertumbuhan ekonomi nasional yang dalam 4 tahun terakhir terus membaik. Selama 2018, perekonomian kita bertumbuh 5,17% sehingga angka ini menunjukkan tren terbaik sejak 2014 di tengah kondisi global saat ini.
Meskipun demikian, catatan tetap mengiringi kinerja yang apik tersebut. Realisasi pertumbuhan produk domestik bruto tahun lalu itu sebenarnya masih di bawah target dalam APBN 2018 sebesar 5,2%.
Salah satu penyebabnya adalah ekspor sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi tidak melaju sekencang kinerja impor. Tahun lalu, ekspor kita tetap bertumbuh di level 6,48% meskipun pencapaian itu masih di bawah kinerja tahun sebelumnya yakni 8,91%.
Tekanan efek perang dagang Amerika Serikat dan China, serta lesunya harga komoditas membuat kinerja ekspor kita tak bisa mengimbangi impor yang tercatat tumbuh 12,04%. Kondisi tersebut bisa dijadikan premis bahwa jika ekspor kita tumbuh lebih tinggi, ekonomi kita melaju lebih kencang.
Namun, seperti yang kita tahu ancaman perang dagang antara Amerika Serikat dan China belumlah usai.
Sementara itu, harga komoditas yang belum stabil dan permintaan negara tujuan ekspor yang fluktuatif membuat neraca perdagangan kita belumlah seperti yang diharapkan.
Di satu sisi, kita juga memahami bahwa upaya pemerintah upaya untuk menggenjot ekspor ini cukup memakan waktu. Namun, tetap harus ada yang dilakukan, yaitu dengan memulai upaya yang terkoordinasi dan komprehensif untuk mendorong daya saing industri.
Dari sisi produksi, industri pengolahan perlu menjadi perhatian. Pasalnya, hal ini sangat berkaitan dengan kinerja ekspor. Data BPS memperlihatkan sepanjang tahun lalu, industri pengolahan nonmigas hanya bertumbuh 4,77% atau melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 4,85%.
Adapun, industri makanan dan minuman yang berkontribusi sekitar 30% terhadap keseluruhan kinerja industri pengolahan atau manufaktur, hanya membukukan pertumbuhan kinerja sebesar 7,91% atau lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya 9,23%.
Salah satu penyebab yang membuat industri makanan dan minuman tak begitu cemerlang adalah kinerja produk turunan minyak sawit mentah yang melempem. Padahal, di dalam subsektor makanan dan minuman tersebut, kontribusi dari kinerja sektor crude palm oil (CPO) dan turunannya sangat dominan atau sekitar 70%.
Minyak sawit memang menjadi salah satu andalan ekspor negara kita. Bahkan, Indonesia bersama Malaysia, menjadi negara yang begitu dominan dalam memproduksi dan melakukan ekspor produk sawit dan turunannya.
Tahun lalu, industri kelapa sawit nasional membukukan produksi 47,44 juta ton. Angka tersebut mencakup CPO dan palm kernel oil (PKO). Adapun, khusus untuk produksi CPO tahun lalu tercatat sebanyak 43 juta ton, naik 12,50% daripada 2017.
Ekspor sawit selama 2018 juga tercatat meningkat. Sayangnya, harga rata-rata CPO di pasar global yang tak juga cemerlang, ditambah hambatan perdagangan di sejumlah kawasan tujuan ekspor seperti Uni Eropa dan India, membual sumbangan terhadap devisa kita menyusut.
Nilai sumbangan devisa minyaksawit2018 mencapai US$20,54 miliar turun 11% dibandingkan dengan 2017 yang sampai US$22,97 miliar.
Di dalam negeri, produk CPO dan turunannya sebenarnya tetap laku. Hal itu terlihat dari penyerapan biodiesel melalui program mandatori B20 yang mencapai 3,80 juta ton atau naik 72% dibandingkan dengan 2017 yang hanya 2,20 juta ton.
Secara keseluruhan serapan dalam negeri mencapai 13,40 juta ton dan hal itu menjadikan Indonesia sebagai negara produsen dan konsumen tertinggi di dunia melewati India. Namun, masih banyak pekerjaan rumah agar industri sawit kita kembali kinclong. Kita berharap supaya pemerintah membenahi persoalan regulasi sawit yang kurang berpihak maupun yang tumpang tindih sehungga juga tidak merugikan dari sisi lingkungan hidup.
Pemerintah juga harus terus mendorong penguatan pasar domestik melalui penggiliran produk turunan CPO yang meliputi oleopangan seperti minyak goreng. Begitu pula dengan pengaliran oleokimia yang menghasilkan produk jadi seperti produk biosur-faktan antara lain detergen, sabun, dan sampo, biopelumas hingga bioplastik.
Di sisi lain, evaluasi yang menyeluruh antarkementerian dan lembaga sangat dibutuhkan agar implementasi kebijakan biodiesel yang belum memuaskan dapat segera teratasi. Mengoptimalkan biodiesel tentu akan mengurangi beban impor minyak kita.
Dengan mengoptimalkan daya saing industri sawit, setidaknya kita bisa menggantungkan harapan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka pendek bisa mencapai target yang lebih baik.
Sumber: Bisnis Indonesia