Perluasan penggunaan solar dengan campuran minyak sawit atau fatty acid methyl ester sebesar 20 persen (B-20) untuk bahan bakar sektor pelayanan publik (PSO) dan non-PSO telah dilaksanakan sejak September 2018. Pelaksanaan kebijakan B-20 itu membuat penyerapan atau penyaluran FAME cukup signifikan tahun lalu.
Dari data Direktorat Jenderalenergi baru terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, penyaluran fatty acid methyl ester (FAME) untuk biodiesel sebesar 3,52 juta kiloliter pada tahun 2018, naik 49 persen dibandingkan dengan penyaluran tahun 2017 yang tercatat 2,36 juta kiloliter.
Apabila kebijakan B-20 diberlakukan secara penuh tahun ini, minyak sawit atau FAME yang diserap bisa mencapai 6,7 juta kiloliter. Angka ini dihitung dari 20 persen rata-rata kebutuhan solar setahun yang mencapai 33,6 juta kiloliter. Dengan demikian, impor solar bisa dikurangi secara drastis.
Impor solar diperkirakan mencapai 9,64 juta kiloliter per tahun dengan nilai lebih kurang 5,5 miliar dollar AS. Dengan mengganti sebagian kebutuhan solar dengan 6,7 juta kiloliter minyak sawit, devisa yang bisa dihemat bisa mencapai 4 miliar dollar AS per tahun. Penghematan devisa akan makin besar jika pemerintah menerapkan kebijakan B-30 mulai tahun ini.
Pengurangan impor solar memang dapat membuat bisnis ini berkurang keuntungannya. Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika sampai saat ini barangkali ada pihak yang masih berkeberatan terhadap perluasan pemakaian biodiesel. Namun, kebijakan eneggi baru dan terbarukan (EBT) dari minyak nabati atau biodiesel harus terus berjalan untuk mengantisipasi energi fosil yang semakin tipis. Selain itu, kebijakan biodiesel juga dinilai mampu menekan defisit perdagangan dari impor minyak dan gas yang besar.
Dalam sebuah diskusi sawit. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia Joko Supriyono menilai, kebijakan biodiesel harus menjadi “hajat” pemerintah. Artinya, kebijakan tidak boleh mundur. Segala kesulitan teknis dan hambatan harus diatasi. Misalnya terkait dengan pendistribusian FAME dari sentra-sentra produksi minyak sawit yang terfokus di Pulau Sumatera. Sementara pendistribusian mencakup wilayah yang luas, seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Oleh karena itu, sebenarnya butuh peta jalan yang lebih komprehensif, termasuk bagaimana mendorong investasi pabrik minyak sawit untuk memproduksi FAME di wilayah lain guna memudahkan distribusi biodiesel.
Selain itu, Pertamina juga perlu terus-menerus menyiapkan sarana dan prasarana atau titik pencampuran biodiesel. Industri pengguna juga perlu melakukan adaptasi peralihan penggunaan EBT dari biodiesel.
Penggunaan EBT dari biodiesel memang tidak semudah yang dibayangkan. Selain masalah teknis pendistribusian dan uji coba penggunaan B-30, selisih harga minyak sawit dan harga solar atau minyak dunia patut diperhitungkan. Saat ini, harga minyak sawit memang relatif rendah, berkisar 500 dollar AS-520 dollar AS per ton.
Pada 2018, harga minyak sawit bahkan di bawah 500 dollar AS per ton. Dengan harga itu, setidaknya pada periode September-Desember 2018, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP-KS) belum perlu mengeluarkan dana untuk menutup selisih harga. Namun, jika harga minyak sawit menyentuh 570 dollar AS-619 dollar AS per ton, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 Tahun 2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPDP-KS pada Kementerian Keuangan, ekspor sawit dan produk turunannya dikenakan pungutan 25 dollar AS per ton dan 50 dollar AS per ton jika harga minyak sawit melebihi 619 dollar AS per ton.
Dengan konsistensi kebijakan biodiesel di dalam negeri, banyak manfaat yang bisa diperoleh, antara lain program EBT dapat terlaksana lebih baik, defisit transaksi berjalan berkurang, penyerapan minyak sawit dalam negeri semakin besar, serta dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Sumber: Kompas