Ancaman terhadap produk minyak sawit atau Crude palm oil (CPO) Indonesia tak henti-hentinya datang dari negara-negara Eropa membuat gerah dan gelisah jutaan jiwa keluarga petani kelapa sawit Indonesia. Begitu juga dengan jutaan para pekerja yang bekerja diperusahaan perkebunan kelapa sawit.

Apa solusi yang tepat dari ancaman CPO Indonesia itu? Berbagai langkah telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan melakukan negosiasi dengan negara-negara penerima CPO Indonesia. Berbagai persyaratan yang disyaratkan negara-negara ekspor CPO Indonesia telah dilakukan akan tetapi ancaman tidak menerima produk CPO Indonesia terus berlangsung, semakin hari semakin kuat. Pemerintah Indonesia juga sudah mengantisipasinya dengan berupaya mentaati aturan yang diberlakukan negara-negara penerima produk CPO Indonesia. Berbagai tuduhan dan ancaman terhadap produk CPO Indonesia ditanggapi dengan sabar, tenang dan melakukan perbaikan sesuai dengan keinginan konsumen CPO Indonesia. Tidak salah, selaku produsen CPO harus sabar dan pro fesional melayani konsumen. Namun, kesabaran ada batasnya bagi para profesional. Kesabaran ada batasnya bukan berarti dibalas dengan emosional tetapi harus juga profesional.

Pemerintah Indonesia, para petani kelapa sawit, para perusahaan kelapa sawit harus siap sedia bila ancaman itu benar-benar dilaksanakan yakni menghentikan seluruh pembelian produk CPO Indonesia. Ancaman terhadap produk CPO dari Indonesia semakin serius dengan menetapkan waktu yakni tahun 2019 apa bila berbagai persyaratan yang disyaratkan tidak dipenuhi. Apa yang dilakukan negara-negara Eropa, parlemen Eropa yang akan menghentikan pembelian CPO Indonesia harus diterima dengan persiapan yang benar-benar siap.

Ketergantungan ekspor CPO Indonesia terlalu besar yakni 60 persen ekspor dan 40 persen untuk dalam negeri. Sampai tahun 2016 kelapa sawit Indonesia tetap merajai pasar dunia yakni 54 persen produksi CPO dunia dipasok Indonesia kemudian Malaysia pada posisi kedua dengan produksi 32 persen produksi CPO dunia.

Bila menjadi kenyataan penutupan ekspor CPO Indonesia berarti ada 60 persen total produk CPO Indonesia tidak memiliki pasar. Jelas ini menjadi ancaman serius bagi jutaan petani kelapa sawit di Indonesia.

Untuk itu ancaman kepada jutaan petani kelapa sawit Indonesia harus dipikirkan semua pihak, pemerintah dan para pengusaha kelapa sawit Indonesia. Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) harus mampu menjawab tantangan itu. Cara yang tepat Apkasindo dengan Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapkindo) dan pemerintah harus mencari solusi yang tepat guna menyelamatkan produk CPO Indonesia.

Bila negara-negara Eropa, parlemen negara Uni Eropa benar melakukan menyetop minyak sawit dari Indonesia maka langkah yang tepat sudah dimiliki Indonesia. Waktu yang diberikan memang sangat singkat, apakah benar tahun depan akan dilakukan. Hal ini harus dicermati dan diantisipasi dengan nyata, bukan sekadar kata. Menerapkan Agribisnis secara total

Berbagai tuduhan dan ancaman harus diterima tentang produk CPO Indonesia dengan melakukan perbaikan sesuai dengan standar internasional. Namun, disamping melakukan perbaikan produk CPO Indonesia baik dari mutu sampai kepada sistem produksi seperti pemanfaatan lahan perkebunan kelapa sawit harus diperbaiki. Hal ini penting mengingat posisi Indonesia sebagai produsen CPO maka selaku produsen harus memenuhi standar yang diinginkan konsumen. Tidak bisa ditawar-tawar seb ab kini pro duk CPO memp akan penghasil devisa terbesar Indonesia.

Puluhan juta rakyat Indonesia yang hidup dari aktivitas perkebunan kelapa sawit harus mendapat jaminan akan kelangsungan pro duk CPO Indonesia maka semua pihak harus serius memikirkannya apa bila benar-benar nanti minyak sawit Indonesia diboikot negara-negara di dunia. Indonesia sebagai negara importir terbesar CPO harus memiliki solusi yang tepat dan nyata untuk itu.

Memang sampai saat ini negara-negara Eropa termasuk Amerika Serikat yang akan menolak CPO Indonesia belum jelas alasan yang sebenarnya. Ada keraguan terhadap tuduhan yang dilontarkan terhadap CPO Indonesia. Ada agenda lain selain dari tuduhan yang dilontarkan. Hal itu biasa dalam dunia bisnis. Kompetitor dalam bisnis pasti ada maka sebagai produsen CPO terbesar di dunia harus bisa memenangkan kompetitor itu dengan baik.

Pemerintah Indonesia harus membuktikan tuduhan negera-negara Eropa akan CPO Indonesia yakni bahwa produk minyak sawit mutunya baik, membuktikan bahwa produk CPO Indonesia dihasilkan dengan cara yang baik dan benar. Produk CPO Indonesia dihasilkan dari lahan perkebunan yang tepat, tidak benar merusak lingkungan. Bila berbagai tuduhan itu telah bisa dij awab dan dibuktikan dengan baik dan benar maka ancaman dan tuduhan itu tidak benar maka ada agenda lain selain dari ancaman atau tuduhan tersebut.

Menjawab masalah CPO Indonesia yang terus diancam, akan diboikot langkah yang tepat menetapkan total agribisnis pada tanaman kelapa sawit. Pada prinsipnya agribisnis itu adalah semua atau segala aktivitas pertanian dari hulu hingga hilir. Total agribisnis pada tanaman kelapa sawit harus dilakukan. Faktanya sekarang ini tanaman kelapa sawit belum total agribisnis di Indonesia. Alasannya produksi minyak sawit Indonesia sebagian besar ditujukan untuk ekspor, hanya sekitar 20-25 persen yang digunakan untuk konsumsi domestik. Konsumsi domestik tersebut mencakup untuk industri oleofood, oleokimia, detergen atau sabun dan biodiesel.

Artinya tanaman kelapa sawit secara agribisnis belum total dilakukan di Indonesia. CPO masih bahan setengah jadi dari produk kelapa sawit. Untuk itu pemerintah Indonesia harus memaksimalkan tanaman kelapa sawit secara agribisnis.

Memang sejak tahun2011 Indonesia telah mendorong hilirisasi minyak sawit di dalam negeri melalui tiga j alur hilirisasi yakni jalur hilirisasi industri oleofood, jalur hilirisasi industri oleokimia dan jalur hilirisasi biofuel.

Jalur hilirisasi biofuel dikaitkan dengan kebi) akan mandatori biodiesel dari B-5 (2010), B-10 (2012), B-15 (2014) dan B-20 (2016).

Bila hal ini terealisasi maka akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar CPO dunia. Disamping mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar CPO dunia, hilirisasi biofuel akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada BBM fosil. Ketergantungan kepada BBM fosil membuat harga BBM terus meningkat dan memicu laju inflasi di Indonesia. Sudah saatnya lndonesia memproduksi biodiesel berbasis minyak sawit yakni fatty acid methylester (FAME) minimal untuk memenuhi kebutuhan domestik atau dalam negeri.

Sudah saatnya pemerintah menerapkan kebijakan hilirisasi minyak sawit dalam negeri menjadi minyak sawit olahan. Keuntungan yang diperoleh berlipat ganda sebab bila kebijakan hilirisasi minyak sawit dalam negeri terealisasi akan membuka lapangan kerja bagi puluhan juta tenaga kerja sehingga mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.

Hal ini pernah dilakukan pemerintah Indonesia era Orde Baru yang menutup ekspor kayu gelondongan dan membuat kebij akan untuk melakukan kayu gelondongan sebagai olahan maka berdiri puluhan pabrik Pulp (bubur kertas) berskala besar. Kemudian dilanjutkan dengan berdirinya puluhan pabnk kertas berskala besar akibat dari adanya produksi Pulp. Kemudian dari produksi Pulp dalam negeri maka berdiri puluhan pabrik tekstil berskala besar.

Langkah yang pernah dilakukan pemerintah era Orde Baru ini perlu dicontoh dalam menjawab masalah CPO Indonesia di pasar dunia. Memang ekspor minyak sawit Indonesia menghasilkan devisa yang besar bagi Indonesia. Devisa yang dihasilkan sangat besar yakni nilai ekspor CPO tahun 2008 sebesar USD 15,4 miliar, kemudian tahun 2011 meningkat menjadi USD 21,6 miliar. Namun, tahun 2016 lalu mengalami penurunan menjadi USD 17,8 miliar karena permintaan dan harga CPO dunia menurun.

Besarnya nilai ekspor minyak sawit Indonesia telah memberikan kontribusi yang baik bagi perekonomian Indonesia. Devisa ekspor minyak sawit Indonesia itu bisa menghidupi puluhan juta rakyat Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari komposisi ekspor CPO Indonesia yakni dihasilkan dari kebun-kebun sawit pada 190 kabupaten di Indonesia. Kemudian sebesar 41 persen ekspor CPO itu berasal dari perkebunan kelapa sawit rakyat.

Hal ini bisa diterima sebab perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta dan pemerintah umumnya berlanjut pada tahap pengolahan CPO atau melakukan produk CPO olahan hilirisasi. Sedangkan CPO dari perkebunan kelapa sawit rakyat umumnya diekspor. Kini bagaimana agar CPO hasil dari perkebunan kelapa sawit rakyat menjadi produk CPO olahan hilirisasi. Bila ini bisa diwujudkan, ancaman terhadap CPO Indonesia di pasar dunia tidak lagi menjadi masalah. ***

Penulis, Dosen Manajemen Produksi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, aktivis YBWSMedan

Fadmin P Malau

 

Sumber: Harian Analisa