Koperasi yang terorganisir dengan baik akan menciptakan peluang bargaining position yang relatif diperhitungkan dalam pemasaran produk.

Kementerian Pertanian menyatakan lahan perkebunan seluas 5,8 juta hektar atau 40,56% dari total luas perkebunan sawit nasional (14,31 juta hektar) dikelola oleh 2,61 juta keluarga petani pada 2018. Angka tersebut menunjukkan petani sawit mempunyai peran penting dalam industri sawit.

Tetapi, yang patut dipahami dan disadari bahwa produktivitas kebun petani kelapa sawit masih relatif rendah dibanding pelaku kebun lainnya.  Hal itu, diutarakan oleh Teguh Wahyudi, Direktur Utama PT.Riset Perkebunan Nusantara (RPN), saat diskusi, pada akhir Januari, di Bogor Jawa Barat.

Tidak hanya persoalan produktivitas kebun dengan hasilnya hanya rata-rata 11,4 ton/ha/tahun yang dihadapi petani sawit. Untuk menjual hasil panen Tandan Buah Segar (TBS) juga kerap menghadapi hambatan. Bahkan, posisi tawar petani masih sangat lemah dalam penentuan harga. Untuk itu, diperlukan kelembagaan ekonomi di level pedesaan agar mampu memperkuat posisi.

Text Box: “Pengurus koperasi dan petani harus mempunyai mindset bisnis. Jika mereka (petani dan koperasi) mempunyai mindset bisnis, pasti tahu bahwa usia tanaman 25 tahun sudah harus replanting,” ujar Victoria Simanungkalit.

Menurut Teguh, keanggotaan petani dalam kelembagaan ekonomi baik untuk produksi maupun pemasaran di level pedesaan baru sekitar 17,4% – 36,7%. “Kelembagaan ekonomi petani inilah yang dapat membantu petani sawit dalam meningkatkan produktivitas, kualitas hasil kebun serta harga produk yang diperoleh,” ujar Teguh Wahyudi.

Pemberdayaan petani dipandang menjadi upaya tepat untuk mendukung industri sawit berkelanjutan. Hal tersebut sejalan dengan kebutuhan masa depan industri sawit nasional untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdhalifah Machmud juga menyatakan hal serupa dalam sambutannya. “Untuk menghadapi berbagai persoalan dalam pengembangan perkebunan swadaya (petani), dibutuhkan wadah dalam bentuk kelembagaan, salah satunya berupa koperasi,” ujarnya.

Dalam pandangan Musdhalifah, koperasi yang terorganisir dengan baik akan menciptakan peluang bargaining position yang relatif diperhitungkan dalam pemasaran produk. Koperasi pekebun juga dapat berperan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, penyaluran benih tanaman perkebunan, dan berperan penting pada saat peremajaan tanaman yang sudah tua.

Selain itu, lanjutnya, koperasi berfungsi mengedukasi para pekebun menjadi lebih mandiri dan profesional serta terlindunginya kepentingan pekebun dari hal-hal yang dapat merugikan ketika melakukan perniagaan dengan pihak manapun. Koperasi dapat menyelenggarakan perencanaan produksi, keperluan sarana produksi, pemeliharaan tanaman dan pemasaran TBS dari para anggota. “Apabila koperasi terorganisir dengan baik maka  persoalan  keterbatasan  akses  modal, teknologi,  dan  pasar, tidak lagi terjadi,” tegas Musdhalifah.

Koperasi pekebun juga mendukung keberlanjutan perkebunan yang berperan dalam pengembangan ekonomi lokal. Secara institusi koperasi pekebun dapat menjalin hubungan kerja sama dengan lembaga-lembaga mitra, seperti kelompok komoditas non perkebunan, pedagang saprodi, pedagang hasil perkebunan, penyuluh, koperasi, bank, dan pemerintah daerah.

Text Box: “Kelembagaan ekonomi petani inilah yang dapat membantu petani sawit dalam meningkatkan produktivitas, kualitas hasil kebun serta harga produk yang diperoleh,” ujar Teguh Wahyudi

Selanjutnya, Musdhalifah mengingatkan untuk mewujudkan koperasi pekebun agar berjalan secara optimal perlu perjuangan bersama dengan penguatan lembaga-lembaga subsektor komoditas perkebunan. Sebagai tahap awal, pekebun bisa membentuk kelompok-kelompok pekebun yang kuat dan mandiri serta pendirian koperasi pekebun swadaya sebagai wadah berhimpun roda ekonomi petani.

Penguatan koperasi pekebun sawit harus  diawali dari kelompok-kelompok yang sudah ada di masyarakat. Pada tahap permulaan, koperasi yang terorganisir akan menciptakan kebersamaan pekebun dalam memasarkan produk. Pola penjualan hasil produksi tidak lagi memanfaatkan “pihak ketiga” tetapi langsung ke perusahaan penerima hasil produksi. Dan, Keberadaan koperasi dapat menjadi mitra pemerintah dalam menyusun berbagai kebijakan tentang masalah perkebunan sawit, termasuk dalam menetapkan kebijakan tata niaga.

Sumber: Sawitindonesia.com