Bagi seorang petani kelapa sawit dari Desa Sukatani, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Jaka Suherman hanya ingin harga komoditas yang dia tanam stabil dan terjual habis saat panen. Isu lingkungan dan deforestasi menjadi masalah kedua jika yang utama sudah tercapai.

Namun, nyatanya harga tandan buah segar kelapa sawit beberapa waktu terakhir selalu di bawah angka Rp900 per kilogram (kg). Bahkan sempat Rp500 per kg. Tentu harga yang ini membuat Jaka dan kawan lainnya terus menjerit.

Selain tidak memiliki pembeli yang mampu menawarkan harga dengan tinggi, pengelolaan berkebun Jaka masih minim. Terlalu terburu-buru panen hingga boros-nya penggunaan pupuk membuat ongkos produksi melejit.

Belum lagi standar luar negeri yang mengharuskan adanya sertifikasi sawit berkelanjutan dari Roundtable on Sustainable Palm Oli (RSPO), yang membuat harga hasil panen Jaka saat itu kalah bersaing.

Tak ayal, Jaka pun mulai bergabung dengan RSPO. “Sebelum RSPO, 1 ha lahan cuma mendapat 1 ton sawit. Sekarang dengan adanya pelatihan, ada peningkatan 0,5 ton per bulan. Harga juga juga tetap tinggi,” katanya menceritakan pengalamannya, Kamis (25/7).

Isu mengenai kelapa sawit yang tidak ramah lingkungan sedang menjadi isu yang hangat. Tentu ini berdampak bagi Indonesia yang sebagian besar devisanya berasal dari sawit.

Berdasarkan data RSPO, saat ini produksi minyak sawit di Indonesia mencapai 41 juta ton. Akan tetapi yang mengantongi sertifikat berkelanjutan hanya 7,4 juta ton.

Sejatinya, jika dibandingkan dengan negara lain, jumlah tersebut sudah sangat besar karena Tanah Air menyumbang 56,9% dari 13,93 juta ton sawit berkelanjutan yang ada di dunia.

Penyumbang terbesar kedua adalah negara tetangga, yaitu Malaysia dengan persentase 34,3%, disusul Papua Nugini 5,1%, dan Kolombia 1,9%.

Namun, untuk mendapatkan sertifikat sawit yang berkelanjutan tidak terlalu mudah bagi petani swadaya di dalam negeri. Pasalnya, selain prosesnya yang berbelit, biaya sertifikasi juga tinggi sehingga tidak sebanding dengan hitung-hitungan margin.

YURISDIKSI

Untuk mempermudah ini, maka dimulai pendekatan sertifikasi berdasarkan yurisdiksi. Semua petani swadaya, kelompok, hingga perusahaan yang belum memiliki cap berkelanjutan bisa bergabung dalam satu wilayah administrasi dan mendaftarkan diri.

Pendekatan ini disambut baik oleh pemerintah setempat. Di Indonesia wilayah yang menjadi proyek percontohan adalah Kotawaringin Barat (Kobar) dan Senayan, Kalimantan Tengah serta Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.

Kepala Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Kobar, Kamaluddin mengatakan bahwa pendekatan yurisdiksi berfungsi untuk memastikan produksi sawit di daerahnya sesuai standar dan menjaga harga.

Proses tersebut juga demi mengurangi deforestasi, kebakaran lahan dan hutan, konflik sosial, dan paling utama meningkatkan kesejahteraan petani.

Saat ini, ada lebih dari 15.000 petanisawitdi Kobar dengan luas kebun mencapai 50.00 ha. Dari situ, sebanyak 1.946 petani dan 3.946 ha lahan terpetakan.

Petani yang telah disertifikasi sebanyak 1.126 dengan luas tanah 2.165 ha. Sisanya, direncanakan masuk dalam pendekatan yuridiksi.

Kamal memahami pentingnya sertifikasi sawit berkelanjutan demi terserapnya hasil panen.

“Jangankan tidak terbeli sawitnya, harga turun saja membuat kepala petani mumet. sawit ini menjadi sumber kehidupan warga Kobar. 40% warga mengandalkan komoditas ini,” jelasnya.

Sertifikasi yuridiksi diyakini juga dapat membuat serapan sawit berkelanjutan tinggi. Ini karena produsen selalu mengeluhkan hanya setengah produk mereka yang laris di pasaran. Rasanya percuma membuat komoditas ramah lingkungan tetapi tidak terjual.

Direktur RSPO Indonesia Tiur Rumondang menuturkan bahwa metode pendekatan yuridiksi adalah upaya cepat agar petani swadaya mampu mendapatkan sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan.

“Masuk sertifikat standar RSPO bukan hanya ingin mendapatkan harga premium, tapi juga kelebihan yang lain, yaitu sertifikasi dan pengetahuan, dan ini menurut saya lebih sustainable dari pendapatan.”

Adapun, tantangan saat kelompok sudah tersertifikasi adalah bagaimana mereka bisa menjaga 5 tahun pertama hingga mendapat cap berkelanjutan lagi. Kelompok itii harus bisa mempertahankan stabilitas kualitas dan produksinya.

Tiur mengakui bahwa komitmen menghasilkan produk berkelanjutan hanya diterapkan dan terus ditingkatkan kepada penjual. Hal yang sama belum diharuskan kepada pembeli tandan buah segar.

Nah, melalui pendekatan ini, RSPO juga menerapkan tanggung jawab bersama. Dengan begitu sebanyak apapun sawit berkelanjutan dihasilkan, diharapkan semuanya ludes terserap pasar.

“Upaya lain memang harus dilakukan. Kita harus edukasi pasar khususnya pasar masa depan karena yang lama sudah aus. Mereka [perusahaan sawit] tahu harus beli barang organik tapi sayang uangnya. Itulah kita harus buat, pasar masa depan dan menciptakan serapan,” jelasnya.

 

Sumber: Bisnis Indonesia