Empat dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), diantaranya Prof. Dr. Ir. Mochamad Sambas Sabarnurdin M.Sc., Dr. Sigit Sunarta, S.Hut., M.P., Ir. Kasmudjo, M.S., dan Ir. Sri Astuti Soedjoko, berkesempatan untuk melihat langsung pengelolaan perkebunan kelapa sawit milik PT. Nusantara Sawit Persada (NSP), di daerah Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Salah satu tujuan dari keempat dosen UGM tersebut adalah melihat secara langsung alih fungsi lahan dari lahan HPK (Hutan Produksi Konversi) milik pemerintah yang terbengkalai sejak 2009, lantas di alih fungsikan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Direktur Utama NSP, Teguh Patriawan, menganggap, perkebunan kelapa sawit layak disebut sebagai hutan sawit lantaran merujuk definisi hutan dari United Nation, FAO, Kyoto Protocol, dan Convention on Biological Diversity, sebagai lapangan yang luasnya lebih dari setengah hektar, ditumbuhi dengan tanaman pohon yang tingginya bisa lebih dari  lima meter, dan penutupan kanopinya minimal mencapai 10 persen. “Tanaman sawit di sini kanopinya lebih dari 10 persen,” tutur Teguh dikutip InfoSAWIT dari Kagama.co, belum lama ini.

Merujuk definisi hutan dari lembaga internasiona, maka kata Teguh, mestinya sawit termasuk hutan tanaman. Acap kali lantaran faktor muatan politis tertentu, menurutnya tanaman sawit dikecualikan, tidak dimasukkan dalam kategori hutan. Padahal secara pertumbuhan, serapan karbon, serta peranannya dalam peningkatan tutupan hutan global tidak kalah dengan fungsi hutan konservasi.

Produktivitas Tinggi

Selain memiliki kategori hutan, komoditas kelapa sawit adalah komditas minyak nabati dengan tingkat produktivitas tertinggi. Tingkat produktivitas yang tinggi menjadi kelebihan minyak sawit, bahkan dengan tingkat produktivitas yang tinggi maka perkebunan kelapa sawit hemat dalam penggunaan lahan disbanding komoditas minyak nabati lain untuk memenuhi kebutuhan pasokan minyak nabati di dunia. “Ini merupakan peluang untuk mengisi tambahan permintaan dunia akan minyak nabati dan lemak yang setiap tahunnya berkisar 6 juta ton, dan produktifitasnya hingga 8-10 kali dibanding dengan minyak nabati lainnya,” ujarnya.

Secara terpisah, Guru Besar Bidang Pemuliaan Pohon dan Silvikultur Fakultas Kehutanan UGM Prof. Dr. Mohammad Naim juga menambahkan, produktifitas kelapa sawit tidak melulu soal luas tanah.

Dari pohon-pohon yang menghasilkan tandan yang bagus, kata Naim, bisa dikembangkan secara kultur jaringan. Dalam hal ini rekayasa genetik dapat menghasilkan bibit unggul dan sisa lahan yang ada dapat dimanfaatkan untuk aktivitas lain. “Jadi nanti bibitnya seragam dan tidak ada variasi,” ucapnya.

Menurut Teguh, serangan NGO selama ini dapat diduga karena dilatarbelakangi oleh persaingan minyak nabati produk daerah sub-tropis, ditambah dengan kurang atau tanpa adanya perlindungan pemerintah terhadap industri minyak sawit.

Ia melihat pendiskreditan terhadap industri kelapa sawit sebagai bentuk black campaign oleh kompetitor-kompetitor industri minyak nabati di luar Indonesia yang tidak ingin industri kelapa sawit Indonesia semakin maju di kemudian hari

Dalam kunjungan ke hutan sawit seluas 2.500 hektar itu, Prof. Sambas melihat upaya NSP dalam perawatan lingkungan. Pakar agroforesti sekaligus guru besar Fakultas Kehutanan itu melihat ciri khas perawatan lahan sawit layaknya merawat hutan.

Tumbuhan liar di sekeliling tanaman sawit dibiarkan tumbuh sebagai fungsi biomas dan pupuk. Pemenuhan regulasi seperti adanya parit-parit untuk menjaga ekosistem, lahan gambut kategori tertentu yang tidak boleh disentuh, bahkan pembentukan plasma-plasma dengan mengajak masyarakat sekitar juga kukan oleh perusahaan.

Sumber: Infosawit.com