JAKARTA, KOMPAS – Pemanfaatan, minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel terbilang potensial serta dapat berdampak positif pada penciptaan lapangan kerja baru. Namun, model bisnis yang tepat, termasuk mengumpulkan minyak jelan-tah dari rumah tangga, masih menjadi tantangan.
Dari survei oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB U0 ditemukan bahwa rata-rata produksi minyak jelantah (usec/ cooking oil/UCO) di Indonesia sebanyak 1,8 liter per rumah tangga per bulan. Survei dilakukan pada 2.500 rumah tangga di 16 provinsi pada 2021.
Dari semua responden yang relatif berada di perkotaan, sebanyak 55,3 persen rumah tangga menghasilkan UCO. Un- tuk wilayah Jawa terbanyak dengan 63.71 persen. Adapun potensi UCO rumah lingga secara nasional diestimasi 864.889 kiloliter (kl) per tahua Khusus di perkotaan, potensi UCO rumah tangga diperkirakan 505.730 kl per tahun.
Indonesia berpotensi besar memanfaatkan UCO untuk diolah lebih lanjut, salah satunya sebagai bahan baku biodiesel. Peneliti LPEM FEB UI, Min Halimatussadiah, mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti lebih jauh guna mencari model bisnis yang tepat, termasuk mekanisme pengumpulan UCO.
“Kebanyakan mereka enggak mau terlalu susah, jadi mesti diambil di rumah. Kalaupun dikumpulkan di satu titik; (harus) titik terdekat Dari sini kita perlu pikirkan bisnis model mekanisme pengumpulan, serta pemberian insentif,” kata Ahn dalam webinar “Kesiapan Pemanfaatan UCO sebagai Bahan Baku Biodiesel”, Rabu (16/2/2022).
Pemanfaatan UCO perlu dikembangkan karena ekspor minyak jelantah Indonesia terus meningkat Catatan LPEM FEB UI, pada 2020 nilai ekspornya mencapai 156,98 juta dollar AS. Belanda dan Singapura menjadi negara tujuan utama untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku bahan bakar kendaraan.
“Pemanfaatan UCO sebagai biodiesel dapat menaikkan produk domestik bruto sebesar 0,25 persen atau setara Rp 39,58 triliun dan penciptaan lapangan kerja baru bagi 381.000 orang dalamjangka panjang,” ujar peneliti LPEM FEB UI lainnya. Teuku Riefky.
Selain masalah pengumpulan UCO secara nasional, menurut Direktur Bioenergi Di- rektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Edi Wibowo, sosialisasi kepada masyarakat juga penting. Sebab, masih banyak warga yang belum tahu pemanfaatan UCO sebagai bahan baku biodiesel.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, selama ini ekspor UCO dinilai lebih menarik ketimbang dimanfaatkan dalam negeri. Harga UCO di Eropa bisa mencapai Rp 12.000-Rp 13.000 per liter. Ia pun menyepakati jika pemanfaatan UCO menjadi bahan baku biodiesel menjadi industri lokal, bukan nasional.
“Sebab, kita negara kepulauan. Jadi ongkos pengumpulan-nya akan jauh lebih mahal,” ujarnya.
Sumber: Kompas