JAKARTA – Pemerintah diminta mengatur tata niaga minyak jelantah atau minyak goreng bekas pakai melalui peraturan khusus untuk melindungi kesehatan masyarakat, memperoleh nilai tambah dan peningkatan kesejahteraan. Pada 2019, ekspor minyak jelantah Indonesia mencapai 148,38 ribu ton atau 184,09 ribu Kilo Liter (KL) dengan nilai sebesar USD90,23 juta. Sebagian besar penggunaan minyak jelantah di negara tujuan ekspor digunakan bagi kepentingan biodiesel.
Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo menjelaskan bahwa volume minyak jelantah atau used cooking oil yang beredar di masyarakat sangatlah besar mencapai 3 juta per ton per tahun. Minyak jelantah merupakan limbah sisa minyak goreng dari kegiatan menggoreng makanan di rumah tangga maupun hotel, restoran, dan makanan.
“Jika dilihat komposisi bahan kimianya minyak jelantah mengandung senyawa zat karsinogenik. Makanya, minyak jelantah ini dapat membahayakan masyarakat. Tapi ada peluang untuk digunakan menjadi biofuel,” ungkap Bernard saat membuka dialog hybrid webinar bertemakan “Kupas Tuntas Regulasi Minyak Jelantah Dari Aspek Tata Niaga dan Kesehatan”.
Bernard Riedo menjelaskan minyak jelantah sudah menjadi barang yang dapat diperjualbelikan di masyarakat dan memiliki rantai dagang dari penjual, pengumpul, pembeli dan eksportir. Akan tetapi, kesehatan masyarakat harus diperhatikan dan dilindungi supaya minyak jelantah tidak disalahgunakan untuk didaur ulang kembali menjadi minyak goreng.
“Tren minyak jelantah saat ini banyak diperjualbelikan oleh individu atau masyarakat. Masyarakat juga mulai melakukan pola pengumpulan minyak jelantah dengan tujuan sosial atau market,” ungkap dia.
Itu sebabnya, dikatakan Bernard, GIMNI mengusulkan peredaran minyak jelantah harus diawasi dan diatur dalam sebuah regulasi khusus. Asosiasi ingin menjalin kerjasama dengan pemerintah dan pihak terkait pengaturan minyak jelantah.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrahman menjelaskan bahwa salah satu produk hilir dari kelapa sawit, minyak goreng, menjadi salah satu penentu di pasar domestik yang paling konsisten serta dapat diandalkan, yang selama ini turut menjaga harga Crude Palm Oil (CPO) di dunia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi domestik untuk minyak goreng cukup stagnan, berada di kisaran angka 9 juta ton per tahun.
Berdasarkan survai pasar yang dilakukan oleh Inter CAFE-IPB pada tahun 2020 terkait penggunaan sawit untuk makanan dan Oleochemical dilaporkan bahwa pemakaian minyak sawit berupa Margarine, Speciality Fats, Minyak Goreng Sawit (curah dan packaging) berada di level 24 kg/kapita/tahun (range-nya dari 19 kg/kapita/tahun sampai dengan 27 kg/kapita/tahun). Animo masyarakat untuk memakai minyak goreng kemasan mulai berkembang, dengan basis pemikiran “healthy”.
“Masih banyak ditemukan di pasar minyak goreng hasil re-proses minyak jelantah, yang diprediksi jumlahnya pada kisaran 16-22%, dan ada kecenderungan menurun, yang kemungkinan karena adanya minat negara lain untuk memanfaatkan minyak jelantah/used cooking oil sebagai bahan baku biodiesel,” ujarnya.
Musdalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Perekonomian menerangkan dalam rangka antisipasi pengoplosan minyak jelantah pada minyak goreng serta pengurangan distribusi minyak goreng curah, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan.
Ke depan, pemanfaaan minyak jelantah dapat difokuskan kepada biodiesel. Dengan konversi 5 liter minyak jelantah menjadi 1 liter biodiesel, maka potensi biodiesel menjadi 600.000 liter dari total jelantah yang dikumpulkan.
Menurut Musdhalifah, pemanfaatan minyak jelantah khususnya menjadi biodiesel dan pemanfaatan lainnya saat ini masih minim di mana hanya berkisar 20% dari total minyak yang dikumpulkan atau hanya sebesar 570.000 kilo liter, sedangkan sisanya digunakan sebagai minyak goreng daur ulang dan ekspor.
Dari data BPS, ekspor minyak jelantah di 2019 sebesar 148,38 ribu ton atau 184,09 ribu Kilo Liter (KL). Adapun berdasarkan data UN Comtrade dengan kode HS 151800. Nilai ekspor minyak jelantah mencapai USD90,23 juta pada 2019.
Ada 10 negara tujuan ekspor minyak jelantah Indonesia adalah benua Eropa, Asia, dan Amerika. Ekspor terbesar ke Belanda dengan nilai mencapai USD23,6 juta, disusul Singapura sebesar USD22,3 juta.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI meminta keseriusan pemerintah untuk membuat regulasi yang memperjelas definisi minyak jelantah dan pemanfaatannya di masyarakat. Sebaiknya, ada kementerian yang ditugaskan secara khusus untuk mengawasi dan membuat regulasinya.
Karena di negara-negara maju, kategori minyak jelantah ini sebagai limbah (sisa proses penggorengan). Di Indonesia, minyak jelantah belum dikategorikan secara khusus apakah masuk limbah B3 atau tidak.
“Yang pasti, minyak jelantah harus digunakan bagi kepentingan non pangan terutama energi. Apalagi, negara-negara di Uni Eropa sangat membutuhkannya dan siap membeli dengan harga berapapun. Kalau di dalam negeri, belum ada akses minyak jelantah untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel,” jelasnya.
Rita Endang, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM menyatakan minyak jelantah memiliki kandungan yang berdampak negatif terhadap kesehatan karena mengandung komponen hasil degradasi yang berdampak pada kesehatan. Namun demikian, minyak jelantah adalah limbah produksi dan bukan pangan sehingga pengawasannya tidak menjadi tupoksi BPOM.
“Kami telah melakukan pengawasan post-market dilakukan terhadap minyak goreng sawit, baik di sarana produksi maupun di peredaran. BPOM melakukan sampling secara khusus terhadap produk minyak goreng sawit dengan syarat merujuk pada SNI 7709:2019,” jelasnya.
Ia sepakat apabila dibutuhkan koordinasi lintas sektor untuk mendorong tersedianya regulasi yang mengatur limbah dan tata niaga limbah minyak goreng sawit.
Prof. Erliza Hambali menuturkan pada 2007 dirinya telah membuat penelitian untuk menggunakan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel. Saat itu, digunakan sebagai bahan bahan bakar campuran bagi Bus Trans Pakuan.
Dari pasokan 1,6 juta KL minyak jelantah mencukupi 32% produksi biodiesel Indonesia. Keunggulan lain adalah hemat biaya produksi 35% dibanding biodiesel dari CPO biasa dan mengurangi 91,7% emisi CO2 dibandingkan solar biasa.
Selain biodiesel, minyak jelantah dapat dimanfaatkan untuk biodiesel, melainkan juga bahan bakar lampu minyak, aroma terapi, pupuk untuk tanaman, pakan unggas, sabun cuci tangan dan cuci piring, serta cairan pembersih lantai.
Sumber: Sindonews.com