Sebulan yang lalu, perusahaan startup di New York sempat menghebohkan dunia internasional karena bekerja dengan memanfaatkan mikroba untuk mengubah limbah makanan dan produk samping industri yang mengandung karbon ataupun gliserol menjadi minyak sawit sintetis.

Pengembangan minyak sawit sintetis dilakukan melalui proses fermentasi dan mengklaim bahwa produk tersebut dapat menggantikan produk alami yang berasal dari tanaman. Menurut laporan, adanya tuduhan bahwa minyak sawit adalah pendorong utama deforestasi dan salah satu penyebab utama perubahan iklim menjadi alasan yang mendorong perusahaan tersebut untuk memproduksi minyak sawit sintetis.

Lalu pertanyaannya, apakah peran penting minyak sawit alami dapat dibandingkan dengan minyak sintetis? Mengutip catatan dari Dr. Ahmad Parveez Ghulam Kadir (Director General of MPOB), temuan dan studi ilmiah oleh lembaga penelitian terkenal telah menemukan keunggulan minyak kelapa sawit dalam hal nilai gizi dan aplikasi pemanfaatan.

Minyak kelapa sawit mengandung vitamin A dan E yang paling tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Kandungan vitamin ini merupakan salah satu sumber antioksidan terkaya seperti karotenoid, tokoferol, dan tokotrienol serta bebas dari kolesterol dan asam lemak trans. Sementara, minyak sawit sintetis tidak memiliki orisinalitas serta tidak memiliki nilai gizi seperti kandungan vitamin A dan E yang terdapat dalam minyak kelapa sawit alami.

Dari perspektif ekonomi, minyak sawit sintetis tidak dapat dihargai secara kompetitif karena bahan baku yang digunakan untuk memproduksinya mungkin juga tidak berasal dari sumber terbarukan. Sementara itu, kelapa sawit dikenal sebagai tanaman minyak yang paling efisien dalam hal produksi sehingga mampu menawarkan harga yang sangat kompetitif di pasar global.

Tidak hanya itu, perlu diingat bahwa dalam produksi sintetis biasanya membutuhkan bahan kimia dan mikroba. Berapa banyak energi dan bahan kimia yang digunakan dalam proses fermentasi? Dengan demikian, dapatkah perusahaan mengklaim bahwa minyak sawit sintetis lebih berkelanjutan daripada minyak sawit alami?

Startup tersebut mengklaim bahwa 31 juta hektare hutan di dunia telah dikonversi untuk penanaman kelapa sawit dalam kurun waktu 24 tahun (1990-2014). Namun, dalam catatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) disebutkan bahwa ternyata areal seluas 30,5 juta hektare tersebut ditanami dengan kacang kedelai selama periode delapan tahun (2010-2018).

Areal perkebunan kelapa sawit hanya memanfaatkan kurang dari 1 persen dari sekitar 5 miliar hektare lahan pertanian global. Sementara, penggunaan lahan pertanian untuk budi daya tanaman minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, bunga matahari, dan rapeseed adalah sekitar 5 persen, tanaman lain 23 persen, dan sisanya digunakan untuk peternakan, yakni sekitar 71 persen.

Kelapa sawit merupakan tanaman yang paling produktif dengan produksi mencapai 5–9 kali lebih tinggi dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya. Dengan tingkat produktivitas minyak yang tinggi, yakni sekitar 4 ton/hektare/tahun, minyak sawit bersifat kompetitif dan terjangkau bagi masyarakat global.

Terakhir dalam catatannya, Dr. Ahmad Parveez Ghulam Kadir mengatakan bahwa minyak kelapa sawit memainkan peran yang tak tergantikan dalam memastikan keamanan pangan global dalam industri minyak nabati dan lemak. Namun, terdapat begitu banyak serangan terhadap keberlanjutan minyak sawit sehingga ada kebutuhan untuk menghasilkan produk sintetis sebagai pengganti produk alami.

 

Sumber: Wartaekonomi.co.id