InfoSAWIT, JAKARTA – Pemerintah menerbitkan moratorium untuk pemberian izin baru perkebunan sawit di kawasan hutan melalui Instruksi Presiden No.8 Tahun 2018. Moratorium diberlakukan selama tiga tahun hingga akhirnya untuk permanen dalam Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2019. Moratorium ini berlaku untuk korporasi atau perkebunan skala besar, bukan untuk petani kecil.
Simulasi dengan Indonesian Palm Oil Simulation (IPOS) menunjukkan bahwa pemberlakuan moratorium akan mengurangi deforestasi, namun produksi TBS akan berkurang. Kondisi Business as Usual (BAU) menunjukkan bahwa akan terjadi gap permintaan dan suplai. dan pemberlakuan moratorium berpotensi untuk memperbesar gap tersebut. Oleh karena itu diperlukan cara agar produksi yang berkurang dapat di kompensasi, salah satunya adalah melalui intensifikasi.
Selain untuk peningkatan hasil produksi TBS, intensifikasi berpotensi untuk mengurangi kebutuhan konversi dan perambahan hutan untuk perluasan perkebunan sawit (Nurfatriani et al., 2018). Simulasi menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas sebesar 20% akan dapat mengkompensasi produksi saat diberlakukannya moratorium.
Penegakan hukum untuk membatasi dan melarang perluasan perkebunan sawit ke kawasan hutan diperlukan seiring dengan program intensifikasi perkebunan sawit. Hal ini untuk menghindari terjadinya ‘Jevons Paradox’ dimana peningkatan produktivitas yang dapat meningkatkan pendapatan tidak menghentikan ekspansi dan malah berbalik menjadi motivasi untuk melakukan perluasan, baik bagi pelaku usaha yang sudah berjalan maupun bagi pelaku usaha yang baru. (Herry Purnomo dan Sonya Dyah Kusumadewi / peneliti Center for International Forestry Research – CIFOR).
Sumber: Infosawit.com