Agrofarm.co.id-Pengembangan pabrik sawit petani baik skala kecil dan besar diharapkan mengefisienkan rantai pasok sehingga dapat mengerek harga beli TBS. Dengan mengelola pabrik sendiri, petani maupun kelompok tani bisa memperoleh perlakuan harga TBS yang adil dan transparan.

Samsul Bahri, Ketua KUD Sawit Makmur, menjelaskan bahwa berdirinya pabrik ini bertujuan membantu petani menjual hasil panennya. Selama ini, mereka kesulitan memasarkan hasil panen ke pabrik kelapa sawit terdekat karena pabrik yang ada mengutamakan hasil dari kebun inti dan plasma sendiri.

“Ketika bermitra dalam penjualan Buah Sawit (TBS) petani kepada pabrik sawit yang berada di sekitar Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Kendala yang dihadapi saat musim panen raya disitulah buah petani selalu dinomorduakan sehingga merugi. Hal tersebutlah yang mendasari (KUD) mendirikan pabrik sawit petani sesuai anjuran pemerintah daerah melalui dinas perkebunan provinsi dan kabupaten,” ungkap Samsul dalam Dialog Webinar Sesi Kedua UMKM Sawit bertemakan Peluang Pengembangan Mini CPO Plant bagi UMKM Sawit yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Jumat (14/8/2020).

Adapun pembicara yang hadir antara lain Antarjo Dikin (Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI), Sahat Sinaga (Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia ), dan Dr. Donald Siahaan (Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit).

Dialog ini dibuka Dr. Rusman Heriawan, Redaksi Ahli Majalah Sawit Indonesia, yang menjelaskan bahwa ada hubungan linier antara luas perkebunan sawit dengan jumlah pabrik kelapa sawit karena semakin luas lahan maka produksi TBS semakin tinggi sehingga butuh pabrik sawit dalam jumlah banyak. Sebagai contoh, Provinsi Riau memiliki luas lahan sawit 3,38 juta hektare dengan jumlah pabrik 181 unit.

Dikatakan Rusman Heriawan bahwa pembangunan pabrik sawit merupakan gagasan bagus dengan mempertimbangkan sejumlah aspek dan tantangan. “Definisi mini plant atau pabrik mini harus diperjelas lagi berapa kapasitas olah TBS-nya. Apakah kapasitas cukup 20 ton TBS per jam, ukuran kapasitas ini harus didiskusikan bersama,” ujar Rusman.

Ia melanjutkan pabrik sawit petani sebaiknya memperhatikan keberlanjutan dalam kegiatan bisnisnya. Pengalaman menunjukkan tidak mudah bertahan menjaga keberlanjutan pabrik. Ada dua aspek penting keberlanjutan pabrik yaitu produksi dan pasar. “Disinilah studi kelayakan sangat dibutuhkan sebelum pabrik dibangun. Jangan sampai sebatas semangat saja,” kata Wakil Menteri Pertanian periode 2011-2014.

Samsul Bahri menyebutkan bahwa pabrik yang sedang dibangun petani di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, berkapasitas 45 ton TBS per jam. KUD Sawit Makmur menggandeng mitra dalam pembangunan pabrik yang membutuhkan investasi investasi sekitar Rp 200 miliar.

“Dalam kerjasama ini, saham yang dimiliki KUD Sawit Makmur sebesar 30% dan 70 persen milik mitra kami. Akhir tahun ini, pabrik bisa commissioning. Pabrik ini bertujuan menyejahterakan petani di wilayah kami,” bebernya.

Sahat Sinaga, Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia, menuturkan lahirnya katalis merah putih yang dikembangkan Institut Teknologi Bandung (ITB) memberikan potensi besar bagi pabrik sawit petani. Disarankan Sahat dengan harga sawit berfluktuasi tinggi maka kebun dan pabrik berada dalam satu entitas. Selain itu, harus dilihat juga pilihan teknologi pabrik sawit untuk disesuaikan kondisi kebun.

Dengan berkembangnya pasar CPO, dijelaskan Sahat, pabrik petani harus dapat memilih produk yang akan dihasilkan. Jenis produk yang dapat dikembangkan adalah Industrial Vegetable Oil (IVO) dengan beragam benefit antara lain traga oil mill lebih efisien, biaya produksi rendah, dan dapat dipakai untuk kepentingan sektor energi antara lain pembangkit listrik dan Pertamina.

“Supaya pabrik berhasil, manajemen pabrik sebaiknya dikelola profesional. Bukan pengurus koperasi,” ujar Sahat.

Antarjo Dikin, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI, sangat mendukung berdirinya pabrik sawit petani di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Namun demikian memang harus diperhatikan sejumlah aspek pendukung seperti perizinan dan pembiayaannya.

“Pabrik sawit petani perlu memerhatikan aspek lingkungan dan sustainability, sehingga tidak terjadi persoalan limbah. Ini perlu menjadi perhatian,” kata dia.

Dr. Donald Siahaan menyebutkan format kelembagaan pabrik haruslah berbentuk korporasi bukan UMKM. Karena ini berkaitan ukuran kapasitas pabrik skala komersil idealnya di atas 30 ton TBS/jam. Disinilah perlu konsep baru pabrik sawit petani yaitu bahan baku berondolan dengan produk akhirnya tidk lagi CPO. Selain itu, lokasi pabrik tidak jauh dari industri energi maupun Kesehatan. Bantolo

 

Sumber: Agrofarm.co.id