Tumpang tindih regulasi menjadi tantangan berat yang dihadapi perkebunan sawit. Akibatnya, banyak kebun petani mau pun perusahaan menerima tekanan dari berbagai pihak. RUU Cipta Kerja atau Omnibus diharapkan menjadi jalan keluarnya.

Rabu, 13 Mei 2020, pemangku kepentingan sawit meriung virtual untuk mendengarkan pemaparan RUU Cipta Kerjaa tau Omnibus Law. Mulai dari petani, pengusaha, akademisi dan praktisi. Mereka ingin mendengarkan penjelasan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law di sektor pertanahan.

Ada harapan dari pelaku sawit supaya RUU ini menjadi jalan keluar persoalan pertanahan dan legalitas di perkebunan. Saat ini, masih banyak perkebunan sawit menghadapi tekanan regulasi yang tidak serasi dan saling tumpah tindih.

Persoalan tersebut dipahami oleh Surya Tjandra, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) diskusi bertemakan “Omnibus Law dan Terobosan Kebijakan Pertanahan di Sektor Sawit”, yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia. Pembicara lainnya adalah Ir. Gulat Manurung, MP (Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia/APKASINDO), Dr. Rio Christiawan (Dosen Universitas Prasetya Mulya), dan Timbas Ginting (GAPKI Cabang Sumatera Utara).

“Industri kelapa sawit menghadapi persoalan tumpang tindih peraturan. Persoalan ini dapat teratasi melalui RUU Cipta Kerja karena terjadi overlapping regulasi di lapangan. Kami ingin kebijakan komprehensif dan berkelanjutan,” kata Surya Tjandra.

Surya Tjandra menjelaskan bahwa RUU Cipta Kerja ini menjadi dasar untuk menghilangkan ego sektoral serta dasar strategi pemangkasan hiper regulasi. Jadi, RUU Cipta Kerja berupaya merangkum regulasi dalam satu kesatuan. Kementerian ATR/BPN mempunyai tiga klaster tanggung jawab di dalam RUU Cipta Kerja yaitu Pengadaan Tanah, Investasi & Proyek Pemerintah, dan Penyederhanaan Perizinan Berusaha.

“Dari hasil pengecekan keteman peneliti dan pengusaha, tantangan industri sawit adalah data khususnya peta (lahan) kerap terjadi overlapping. Atau peta batasnya yang jelas mana yang memang bisa untuk usaha mana yang tidak mana. Persoalan ini sangat krusial. Disinilah persoalan data ini dijawab di RUU Cipta Kerja,” ujarnya.

Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO memberikan dukungan kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan RUU Cipta Kerja dalam rangka mempadu serasikan regulasi pertanahan dan kehutanan.

Persoalan legalitas lahan merupakan tantangan bagi perkebunan sawit rakyat dalam beberapa tahun terakhir. Masalah ini disebabkan empat tipe konflik tenurial  perkebunan sawit rakyat dimasukkan kedalam kawasan hutan, lahan petani berada dalam KHG Fungsi Lindung, lahan petani masuk Peta Indikatif Penundaan Izin Baru, dan moratorium kelapa sawit.

 Solusi atas persoalan tenurial yaitu membuat desk petani sawit di Kementerian ATR/BPN, sosialisasi kepada seluruh kantor BPN PROV/KAB, APKASINDO berpartisipasi dalam pemetaan dan  pengukuran lahan petani, pembrian sertifikat gratis untuk lahan pekebun sawit, dan proses balik nama kolektif.

Apa bila persoalan tenurial tidak dijalankan, maka petani akan kesulitan mengikuti Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 yang mewajibkan setiap pekebun sawit untuk memiliki sertifikat ISPO dalam lima tahun mendatang. Sertifika ISPO mempersyaratkan petani mempunyai surat hak milik (SHM) atas lahan perkebunan kelapa sawit. Di lapangan, masih banyak petani baru mengantongi SKT/SKGR.

“Waktu lima tahun untuk prakondisi ISPO sangat singkat bagi petani. Jangan sampai ada kesan dengan aturan yang ada para petani justru seperti hendak disingkirkan dari sektor industri kelapa sawit di Tanah Air,” ujarnya.

Gulat berharap Omnibus Law Cipta Kerja ini hendaknya bisa memangkas dan menyelaraskan berbagai aturan yang ada agar para petani dapat mengurus status legal lahan mereka dengan mudah, tidak berbeli-belit, serta tidak mengeluarkan  biaya pengurusan yang tinggi.

 

Sumber: Sawitindonesia.com